Believe Me 19 #Masa Lalu 4

17 0 0
                                    

Aku kira kita sudah cukup dekat untuk bisa dikatakan sebagai sahabat. Tapi nyatanya dia tak menganggapnya seperti itu.

^.^

Juni, 2012

Sudah lima hari ini Rita menjauhiku tanpa aku tahu alasannya. Aku sudah mengingat dan mencari hal yang mungkin bisa berpotensi untuk Rita menjauhiku. Apa aku salah ucap? Mungkin tanpa sengaja kata – kataku melukai hatinya? Atau mungkin ada tindakanku yang melukai hatinya? Atau ada hal lain yang membuatnya mejauhiku?

Entahlah, aku pun tak tahu jawaban pastinya.

Sebenarnya solusinya itu sangat mudah, aku hanya perlu bertanya pada Rita. Tapi masalahnya adalah aku, ya aku tak berani bertanya. Melihat wajah Rita yang beberapa hari ini terlihat jutek padaku membuat nyaliku untuk bertanya padanya jadi menciut. Jangankan bertanya padanya, bahkan mengobrolpun jarang. Akhir – akhir ini Rita lebih sering bergabung bersama Alvin, Nina, Reva dan Revi.
Setiap datang Rita akan menyimpan tasnya dan langsung bergabung bersama mereka dan mengobrol dengan asik. Mengabaikanku seolah aku tak terlihat, jujur aku merasa sangat sedih dan hal itu juga mengingatkanku pada pengalaman burukku soal ‘Sahabat’ saat SMP. Aku takut hal yang aku alami di SMP kembali terulang saat ini, jujur saja saat itu adalah saat terberat yang harus aku alami dan aku tak mau itu terjadi lagi. Tidak untuk kedua kali.

Assalamualaikum, Hello Everybody. How are you today?

Teriakan lantang lelaki itu membuatku menolehkan kepalaku, lelaki itu adalah Petito yang biasa di panggil Tito. Siswa pindahan yang berasal dari California namun fasih berbahasa Indonesia seakan – akan dia memang sudah bertahun – tahun tinggal di Indonesia. wajahnya memang tampan bahkan dia juga banyak di gemari para siswi di sini, namun jangan tertipu dengan wajah tampannya karena kelakuannya itu jauh dari kata cool.

Aku kembali menundukkan kepalaku dan melanjutkan tulisan asalku di belakang buku. Seharusnya aku mencari inspirasi untuk cerita yang akan aku update di blog sekolah. Tapi aku sedang malas, bahkan untuk mencari jalan cerita.

Aku menghentikan coretan asalku ketika merasakan seseorang berada di depanku. Aku pun menengadahkan kepalaku dan mendapati Ravi sedang berdiri di depanku sambil menatapku dengan wajah datarnya.

“Kenapa?” Tanyaku dan Ravi menyimpan susu kotak coklat di depanku.

“Untuk aku?” tanyaku lagi, kali ini Ravi mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.

“Makasih.” Ucapku sambil tersenyum padanya dan lagi – lagi dia menjawab hanya dengan anggukan. Detik berikutnya dia pun berjalan ke bangkunya dan bergabung bersama Tito dan teman – teman lainnya.

^.^ -- ^.^

Bel pulang terdengar berbunyi dengan nyaring membuat sebagian besar teman sekelasku berseru senang, untungnya Pak Juan tak mempermasalahkan hal itu dan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Maklumlah Pak Juan itu wali kelas kita dan sepertinya beliau sudah mengerti dengan sifat dari masing – masing murid di kelas.

Sesaat setelah Pak Juan keluar kelas, sebagian besar teman – temanku langsung tancap gas keluar ruangan. Aku masih memasukkan buku dan alat tulisku ketika Rita tiba – tiba berdiri dan berjalan kearah meja Revi. Lalu mereka – Rita, Revi, Rava, Alvin dan Nina- berjalan keluar ruangan bersama. Rita melewatiku begitu saja tanpa berpamitan atau pun sekedar menoleh kearahku.

Ada rasa sakit ketika melihat sikap Rita padaku, dia menjauhiku. Bahkan dia bersikap seakan kita tak kenal sama sekali, padahal aku dan Rita begitu dekat hingga aku menganggap dirinya sahabatku. Tapi, melihat sikapnya beberapa hari belakangan membuatku berpikir apa arti diriku untuk Rita? Apa dia juga menganggapku sebagai sahabatnya juga?

“Ra… Adara, mau pulang gak?” Ravindra sudah berdiri di depanku, menatapku dengan tatapan datarnya. Aku hanya mengaggukkan kepalaku sebagai jawaban. Aku berdiri dari dudukku sambil menyampirkan tas selempangku, lalu kami pun bejalan beriringan keluar kelas.

Di depan sana, jauh di depan sana aku masih bisa melihat Rita berjalan bersama teman- temannya. Dia sedang tertawa bersama yang lainnya dan entah mengapa aku merasakan sakit di dalam hatiku. Aku merasa tersingkirkan dan aku benci dengan perasaan seperti ini.

Seperti biasa, sepanjang perjalanan aku banyak berbicara. Membicarakan banyak hal yang ada di pikiranku juga masalah yang sedang aku hadapu dan Ravindra hanya akan mendengarkan sambil sesekali menanggapi. Tapi kali ini aku lebih banyak mencurahkan isi hatiku yang menyimpan banyak beban.

“Adara…” Ucap Ravindra memotong, aku menghentikan ucapanku dan menoleh menatap Ravindra.

“Ya?”

“Jangan terlalu percaya sama aku.” Ucap Ravindra dengan serius.

“Maksudnya?” Tanyaku heran.

“Jangan menceritakan semua masalahmu padaku ataupun orang lain. Ada masalah sedikit, cerita. padahal mungkin masalah itu nggak begitu besar tapi kamu seakan – akan membesarkan masalah itu. Emangnya kamu pikir orang lain nggak punya masalah? Orang lain juga punya masalahnya sendiri dan kalo kamu cerita masalah kamu, mungkin kamu akan membebani orang lain.”

“Maaf…” Ucapku lirih, lalu aku menundukkan kepalaku “Maaf kalo aku membebani kamu.” Ucapku lagi. Tak ada jawaban dari Ravindra, aku hanya mendengarnya menghembuskan napasnya.

Jujur aku tak bermaksud untuk membebani siapapun, aku bahkan tak pernah menceritakan masalahku pada banyak orang. Hanya orang – orang yang aku percaya dan dekat denganku saja. dan orang itu Ravindra juga Rita, hanya saja saat ini Rita sedang menjauh dan aku hanya punya Ravindra. Ya memang sih aku lebih sering bercerita pada Ravindra di bandingkan dengan Rita, karena entah mengapa aku lebih nyaman menceritakan semua masalah ataupun kegundahan hatiku pada Ravi.

Selama ini Ravi selalu mendengarkan semua keluh kesah ku dan hampir setiap saat dia memberikan saran padaku. Selain itu aku juga merasa semakin hari aku dan Ravi semakin dekat, mungkin karena kami selalu pulang dan pergi bersama jadi membuatku merasa mengenal Ravindra lebih baik dari yang lainnya.

Ketika Rita menjauh dariku, Ravindra lah yang ada untuk menemaniku. Aku sudah merasa terlalu nyaman dengannya dan aku bahkan berharap bisa menjadi sahabatnya.

“Jangan menganggap ku sahabatmu. Karena aku bukan sahabat kamu.” Ucap Ravi tiba – tiba seakan bisa membaca pikiranku.

Ucapannya kali ini membuat hatiku terasa sakit, lebih sakit dibandingkan dengan rasa sakit ku ketika dijauhi oleh Rita. Membuatku berpikir apa aku tak seberharga itu hingga tak ada satupun orang yang mau menjadi temanku.

“Nggak kok. Siapa juga yang nganggep kamu sahabat aku.” Ucapku sambil memaksakan sebuah senyuman.

Dan sisa perjalanan itu di isi dengan omongan anehku. Aku hanya mengucapkan apapun yang terlintas dalam pikiranku, hanya untuk memperlihatkan pada Ravi jika aku baik – baik saja dan tak terpengaruh dengan ucapannya barusan.

Atau mungkin aku hanya bersikap seakan aku baik – baik saja, aku hanya tak ingin dia lebih melukaiku lagi dengan kata – katanya.
Karena aku tak yakin akan baik – baik saja jika sekali lagi mendengar kata – kata menyakitkan dari mulut Ravi.

^.^ -- ^.^

7 Juli 2020

Love, FeA

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BELIEVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang