Prolog

11 2 0
                                    

Rara menyalakan lilin aroma cinnamon - apel satu persatu memenuhi setiap sudut kamar mandi. Ia suka harum kayu manis yang hangat dengan buah apel. Seperti wangi dapur ibu yang tersimpan rapi dalam memori. Lalu mengisi bak rendam dengan air hangat sambil mendengarkan dan bersenandung lagu Moon River versi akustik penyanyi cover.

"Perfect."

Rara tersenyum melihat usahanya menyulap kamar mandi malam ini. Ia bergegas keluar dan mengecek sepucuk kertas entah apa yang tertulis lalu mengambil lipstik merah favoritnya dan meninggalkan bekas bibir pada kertas tersebut.

Rara mengenakan gaun tipis putih, melangkah kembali pada kamar mandi, mencelupkan diri dalam air hangat, dan membenamkan kepalanya sebentar. Air kini rata membasahi. Dari sudut kamar mandi ia meraih sebilah mata silet,  mengenggamnya dengan tangan kanan. Mata Rara tertuju pada sosok gadis yang seidentik rupanya sedang berdiri pada sudut lain kamar mandi. Mereka beradu pandang. Tapi raut wajah dan mata gadis itu penuh kekhawatiran.

"Tak apa, Rayya. Kamu tahu betapa rindunya kita pada Ibu dan Bapak. Nanti bila waktumu tiba, kita kumpul lagi ya."

Rayya yang disebut Rara tadi meneteskan air mata, tapi hening, ia juga berteriak tapi tak ada satu suara pun yang keluar, dan badannya tak bisa beranjak dari sudut kamar mandi. Ia terlihat seperti seseorang yang terkurung dalam sudut dengan peredam suara yang mengelilingi. Rara menarik nafas panjang, tersenyum pada Rayya, kemudian mengiris tangan kirinya. Garis panjang terbentuk diikuti dengan darah yang perlahan mengubah air menjadi kubangan merah. Perlahan Rara kehilangan kesadaran, selamanya.
***

Rayya terengah diantara gelap yang memenuhi kamar tidur, mengusap peluh sambil mencari tombol saklar lampu tidur disampingnya. Ia memeriksa jam digital, angka tiga terpampang. Rayya mengambil ponsel lalu menelepon seseorang diseberang, berdering tapi tak tersambung. Beberapa kali hingga akhirnya Rayya menyerah. Merasa tak tenang, Rayya bangkit menuju ke dapur untuk segelas air. Ia mencoba menelepon nomor yang sama, tetapi hasilnya masih sama.

“Masa masih tidur sih?!”

Rayya memutuskan duduk di balkon apartemen lantai lima, menikmati rokok diantara salju yang turun deras dari semalam, sambil berharap orang yang dihubungi dari tadi akan menjawab semua rasa khawatirnya.
***

Nada dering ponsel memekik dalam ruangan, Rayya bangun dengan rasa sakit dileher ditambah kaget dengan bunyi ponselnya. Nomor Indonesia muncul dilayar, ia bergegas mengangkat.

“Halo?”
“Rayya, ini Ian.”
“Ian. Ada apa?”
“Maaf saya baru bisa menghubungi kamu. Saya mau kasih kabar, Rara meninggal bunuh diri. Ia menyilet tangannya dan ditemukan pembantu tadi pagi di bath up kamar mandi apartemen Setiabudi.”
“Hah? Rara apa? Kapan? Kenapa kamu baru telepon saya? Bukannya sekarang sudah 2 siang lebih disana?”
“Pesawat saya tiba dari Singapura 4 jam lalu, saya juga sama kagetnya dengan kamu. Jadi tolong mengerti kalau saya baru sempat menghubungi kamu. Rara akan saya makamkan sore ini, demi kebaikannya. Kamu boleh ke Jakarta atau tidak, terserah.”
“Ian, apa tidak bisa kamu menunggu saya? Saya satu-satunya keluarga Rara. Tolong, Ian. Saya akan segera cari penerbangan langsung ke Jakarta atau penerbangan tercepat yang bisa saya dapatkan ke Jakarta.”
“Rayya penundaan ini tidak akan mengubah apapun. Rara sudah dinyatakan meninggal 2 jam lalu. Bahkan saat saya tiba dirumah sakit untuk klaim, ia sudah jauh pergi.”
“Ian, saya mohon.”
“Maaf Rayya, tapi kamu boleh datang kapan pun. Bagaimana pun kamu tetap ipar saya.”
“Ian, Ian tunggu. Halo? …”

Seiring dengan sambungan telepon yang diputus, suara tangis Rayya pecah ke sepenjuru ruang tamu apartemennya di Amsterdam. Rayya kini yakin ia tak sekedar bermimpi, ia sungguh hadir menyaksikan saudara kembarnya itu mengakhiri hidup. Tapi ada apa dengan hidup Rara? Bukankah segala kemalangan Rara dan Rayya hilang setelah mereka memutuskan mengubur semua kenangan buruk dan menjalani hidup baru? Rara yang menikah dengan Ian, saudagar batik ningrat lainnya dan Rayya yang pergi mengadu nasib ke Amsterdam menikmati jerih payahnya sebagai penari tradisional.
***

Dear Rayya,Where stories live. Discover now