MIRROR |6 LILIN DAN PEMANTIK

Mulai dari awal
                                    

“Bahas ini lagi? Lo-kan udah gue kasih rokok. Kenapa? Rokoknya masih kurang?”

“Bego. Gue butuh jawaban bukan pertanyaan.”

Regan mendesah. “Za, janjinya-kan kalo gue kasih lo rokok, lo gak akan ngajak-ngajakin atau nawarin gue buat nyicipin tembakau itu lagi.”

“Iya, tapi gue butuh alasan.” Rizza kemudian tersenyum miring. “Apa karena lo takut dimarahin orang tua lo?” jeda. “Cemen lo!” ledeknya.

“Nggak. Gue gak takut. Gue cuma gak mau aja mati secara perlahan dengan benda itu.”

“Pengecut itu namanya.”

Regan menarik nafas panjang, lalu menghembuskan-nya secara kasar. Ia jadi bimbang. Bukan karena Regan terpancing oleh ucapan Rizza, bukan. Ia hanya bimbang, mau sampai kapan Regan membohongi keluarga Rizza kalau sebenarnya dirinya tahu dimana Rizza tinggal. Ya. Selama ini Rizza tinggal sendirian di apartemen-nya. Mengasingkan diri dari keluarganya dan hanya mengandalkan Regan untuk makan.

Regan sama sekali tidak merasa dirinya direpotkan oleh Rizza. Ia justru bersyukur karena Rizza masih mempercayainya. Hanya saja, sikap Rizza yang terlalu bebas seolah-olah menekan dirinya untuk terus diandalkan.

“Za, gue gak akan larang lo untuk ngerokok. Tapi, seenggaknya lo juga harus pikirin tuh penyakit Abang lo sama penyakit lo.”

Rizza langsung mendengus geli. “Buat apa gue mikirin orang lain? Yang ada di depan gue aja cuma lo doang.”

“Za, gimana pun Hito itu Kakak lo. Lo gak boleh membenci dia terlalu dalam. Apalagi di saat kondisi dia kayak gini, jangan sampe lo nyesel nantinya?”

Kemudian hanya ada keheningan. Regan sibuk memasukan baju kotornya ke dalam keranjang. Sedangkan Rizza menghisap rokok sambil menatap keluar jendela. Regan memang sering menginap di apartemen Rizza. Biasanya cowok itu akan menginap pada malam sabtu dan juga minggu. Kalau hari-hari biasanya, Regan hanya numpang tiduran sambil chatting-an dengan beberapa cewek diluar sana sampai larut malam.

“Lo tahukan Kakak lo rentan terhadap asap? Seharusnya yang lo hindari itu asapnya, bukan malah Abang lo dan nyoba bunuh dia secara perlahan.” Regan mengoceh.

Rizza hanya mencebikan bibir. Ia malas diceramahi terus soal rokok. Lagipula, siapa yang akan perduli dengan penyakitnya itu? Rizza tidak perduli dia mati sekalipun. Itu lebih baik untuk membayar kebodohannya.

“Gan, menurut lo kehidupan gue gak guna ya?”

Regan sontak mengernyit. “Kenapa lo tiba-tiba ngomong kayak gitu?” Dia memandang Rizza dengan penuh arti. “Bagi gue, lo tetep Rizza yang ganteng dan ketua futsal yang paling kece. Lo tahu, lo gak cuma sekedar berguna buat gue. Tapi kebutuhan,” ucapnya. Diakhiri senyum lebar.

Bibir Rizza menahan tawa. “Bangsat! Lo pikir gue apaan sampe dibilang kebutuhan segala?! Omongan lo itu ambigu tahu.”

Regan ikut terkekeh geli menyadari ucapannya yang terlalu menjurus ke hal lain.

“Maksud gue gini, lo selalu bantuin gue di segala apapun. Itu tandanya lo berguna kan? Bukan maksud yang lain.”

Setelah tawanya perlahan-lahan hilang, keduanya kini memandang ufuk barat yang jingga sambil duduk di atas ranjang. Regan menepuk bahu Rizza dengan pelan.

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang