11. Obrolan Singkat Sebelum Berperang

Start from the beginning
                                    

-oOo-


Aku adalah penulis. Aku sudah membuat pernyataan itu ketika bab pertama dari cerita ini dimulai. Aku menulis tentang romansa romantis antara laki-laki dan perempuan. Aku menulis segala hal indah yang didapatkan dari mencintai. Meskipun, aku tidak pernah menerima atau memberikan hatiku sebesar para tokoh itu mencintai karakter lainnya dalam cerita.

Aku butuh banyak waktu untuk merenungkan apa saja yang hendak kutulis. Aku bisa seharian berada di kamar hanya untuk menulis satu bab yang tidak lebih dari seribu kata. Aku juga kerap terdiam tiba-tiba ketika inspirasi datang padaku. Aku melakukan itu kadang di rumah atau di tempat lain yang membuatku nyaman.

Kini aku memiliki tempat paling nyaman untuk sekedar melamun. Ashley’s Cafe nama tempat itu. Jasper yang mengenalkan aku pada kafe yang letaknya jauh dari keramaian. Setelah kunjungan pertamaku ke sini, aku mulai datang lagi hari berikutnya-tanpa Jasper, melainkan bersama Margo. Kami makan siang di sini, sembari menyelesaikan bahan presentasi untuk rapat berikutnya. Tidak terasa kami bekerja sampai menjelang sore.

“Jasper tidak mengikuti Anda hari ini.”

“Dia sibuk,” aku menjawab datar sambil mengetik tambahan bahan tulisan.

Pada jam kantor Jasper terkadang punya urusan sendiri. Dia ijin beberapa kali untuk menangani sesuatu dengan adiknya―Georgia Suh atau pergi jalan bersama tante-tantenya. Aku yang tidak peduli pun hanya mengiyakan asal Jasper sudah siap menjemputku saat pulang kantor.

“Margo, kamu balik kantor duluan saja,” kataku saat jam pulang tinggal beberapa menit lagi. Well, kami sebenarnya bebas bekerja di mana pun, asal presentasi ini selesai. Hanya saja, aku ingin sendiri sekarang saat hari mulai gelap. “Aku butuh waktu lebih lama di sini untuk menulis buku baruku,” aku melanjutkan.

“Baik, Nona Felicia. Apa saya meninggalkan mobilnya di sini?”

Aku menggeleng. “Bawa saja, aku nanti akan meminta Jasper menjemputku di sini.”

Margo menurut, dia pamit tepat pada pukul setengah lima sore. Aku tetap di sini dengan pudding stroberi yang sisa separuh dan secangkir cokelat hangat. Aku mengamati lampu-lampu yang mulai menyala karena mendung menjadikan langit cepat gelap.

Kenapa setiap aku datang ke sini selalu mendung? Seakan tempat ini dan langit ingin bercerita soal kesedihan.

Jariku memutar cincin dari Nabastala, berhenti sejenak mengetik cerita. Aku sedang merangkai kisah kelanjutan dari ‘Terbangkan Aku ke Bulan’. Mungkin judulnya bisa lebih konyol lagi jika jilid duanya ‘Terbangkan Aku ke Matahari’, jadinya series Langit. Tapi, aku bingung apa lagi yang ingin aku ceritakan saat aku sudah membunuh tokoh utama pada cerita pertama?

Apa aku perlu berkisah soal kesedihan si tokoh laki-laki yang jahat itu? Tapi, mencintai bukan hal yang jahat. Hanya saja ... cara menunjukkan cinta terhadap sesuatu yang terlalu berlebihan kadang secara tidak sadar membuat manusia menjadi jahat dan egois.

Aku mengetuk-ngetuk meja, mencari inspirasi.  Netraku jatuh memandangi taman bunga Ashley’s Cafe yang terbingkai di jendela besar. Aku memindai orang-orang yang datang dan pergi dari sini. Ada yang bersama kekasih, ada yang membawa tas besar, ada yang menenteng kotak kue dari kafe, ada yang menangis―mungkin baru putus, dan ada yang berjalan dengan sangat rupawan masuk ke lobi utama kafe.

Oh My Husband!Where stories live. Discover now