Enam

27 5 0
                                    

Hari ini Fabian menyerah, ia tidak bisa melarikan diri dari tatapan penuh selidik Natasha. Gadis berpererawakan langsing itu selalu mengikuti Fabian ke mana pun pemuda itu pergi—terkecuali toilet. Sang pemuda pun lebih mengkhawatirkan bobot sang gadis daripada keselamatannya sendiri. Dengan wara-wiri menghindari Natasha di lingkungan sekolah, tentunya kemungkinan bertemu para perundung itu semakin terbuka lebar.

Namun, untuk sesaat Fabian dapat tertolong karena adanya Natasha yang tidak lelah membuntuti. Mereka tentu tidak akan menyeretnya ke belakang sekolah kalau ada saksi, terlebih saksinya adalah salah satu gadis populer di sekolah. Berterima kasihlah pada Hallyu Wave yang membuat wajah Korean Look seperti Natasha menjadi idaman banyak kaum adam—lagi-lagi pengecualian bagi Fabian, mungkin karena mereka iri padanya.

"Aku tahu kamu sebenarnya tidak mau cerita tentang sesuatu yang membebani pikiranmu beberapa hari ini. Tapi setidaknya kamu mampirlah dulu di restoran. Ayahku bingung karena kehilangan satu pekerja paruh waktunya." Itulah yang dikatakan Natasha saat mencegat Fabian yang berniat langsung pulang ke rumah.
Lawan bicaranya menggaruk bagian belakang leher. "Setidaknya berikan aku celah untuk lewat."

"Aku tahu kamu memang mau melarikan diri dariku. Pesan tidak dibalas padahal sedang online. Panggilan telepon diabaikan."

Pemuda itu seakan sedang diinterogasi pacarnya sendiri. Itulah mengapa ia selalu menghindari hubungan romantis. Terlambat membalas pesan saja sudah mengirimkan kecurigaan berat. Natasha yang hanya berstatus temannya saja sudah seprotektif ini, Fabian enggan membayangkan gadis itu naik status jadi pacarnya. Toh, sejak awal ia memang tidak memiliki niatan seperti itu.

"Kamu sudah jelas mau aku cerita," tukas Fabian sembari meyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Sudah tahu mauku begitu." Natasha mengikuti gerakan lawan bicaranya, tidak lupa memasang wajah angkuh.

"Ya, sudah. Kamu mau aku cerita di mana? Restoran? Kalau begitu, aku akan izin ke Ibu dulu."

Natasha mengangkat jempolnya pertanda puas dengan jawaban yang diberikan Fabian. "Sebelum mereka menyeretmu lagi untuk dipukuli, lebih baik kita berangkat berdua sekarang."

Begitulah asal-usulnya bagaimana si sulung keluarga Kim kembali ke restoran miik keluarga Jang. Paman Byungho memeluk Fabian erat ketika mendapati pemuda itu dibawa paksa putrinya kembali ke restoran. "Ha-ha, sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali kamu ke sini. Kamu semakin tampan saja," ujarnya sembari menepuk punggung Fabian kencang.

"Ayah, setidaknya biarkan dia makan dulu. Aku yakin dia pasti sudah kelaparan dari tadi." Natasha mengingatkan sang ayah sebelum pria tersebut meremukkan tubuh sang pemuda.

"Kamu cemburu saja Ayah dekat-dekat dengan Fabian," protes Paman Byungho sembari mengedipkan sebelah matanya pada sang putri.

"Ayah!"

"Ha-ha, lihat siapa yang sedang cemburu, Fabian. Kamu tidak pernah melihat Nat saat seperti itu, bukan? Dia orangnya memang terkadang pemalu, terkadang tidak tahu malu."

"Ayah kenapa harus mempermalukanku di depan dia!" Natasha beranjak dari tempatnya, ia bergabung dengan sang ayah, dan mendaratkan beberapa cubitan di perutnya yang buncit dan berlemak. Pria itu pun tidak mau tinggal diam, ia pun mengejar sang putri yang kini bersembunyi di balik tubuh Fabian menghindari serangan balik ayahnya.

Sejenak, Fabian membiarkan dirinya mengagumi bagaimana pasangan ayah dan anak tersebut tidak pernah lelah menunjukkan perhatian kepada satu sama lain. Kendati mereka memiliki cara sendiri dalam menyampaikannya, termasuk mengejek, sedikit menaikkan nada bicara, ataupun menggunakan tindakan fisik, tetapi mereka tetap perhatian satu sama lain. Bagaimanapun, mereka melakukannya dengan tulus karena saling menyayangi. Andai saja, ia bisa mendapatkan sedikit saja perhatian yang sama dari ayah tirinya. Mungkin dengan begitu, semua hal yang menimpanya tidak akan berujung seperti ini.

"Kalian berisik sekali! Kenapa tidak ajak Fabian makan?" Bibi Agatha segera menyudahi pertengkaran kecil suami dan anaknya sebelum makin melebar dan menakuti para pelanggan yang baru saja datang.

Di sudut restoran tempat biasa Natasha dan Fabian makan, dua mangkuk ramen instan terhidang di meja. Bibi Agatha kewalahan membantu suaminya di dapur, sedangkan putri satu-satunya tidak mewarisi tangan ajaib ayahnya di bidang memasak. Hanya semangkuk mi instan yang bisa ia buat dengan aman tanpa harus merusak dapur.

"Nah, karena sekarang kamu sudah mau aku ajak ke sini dan memakan mi buatanku, maka kamu harus bercerita," tuntut Natasha.

Pemuda itu menghela napas. "Masalah ini sebenarnya tidak ingin kuceritakan pada siapa pun, tetapi jika didiamkan terus menerus juga tidak akan membantu."

"Ada hubungannya dengan ayahmu?" terka Natasha.

Fabian menggeleng sebelum menjawab, "Ini soal Lucy. Dia bertingkah aneh akhir-akhir ini. Aku sampai tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya."

"Aneh seperti apa maksudmu?"

"Aneh, ya, aneh. Seperti dia adalah orang yang berbeda. Bukan Lucy adik yang kukenali, padahal dari segi fisiknya sama."

Natasha sejenak terdiam, seakan sedang mengingat-ingat sesuatu. "Sepertinya aku pernah dengar hal seperti ini, tapi aku lupa. Jadi, bisa ceritakan padaku seperti apa keanehannya? Mungkin saja itu hanya trik supaya dia lebih diperhatikan."

Fabian segera menggeleng. "Dia berlimpah perhatian dan kasih sayang di rumah. Satu-satunya yang kekurangan perhatian dan kasih sayang itu aku."

"Jadi, mencari perhatian itu bukan alasannya."

Sang pemuda menjentikkan jari. "Dia berbuat aneh hanya jika ada di dekatku saja. Sementara di depan orang tua kami, kelakuannya masih sama saja. Coba bayangkan dia tinggal di sebelah kamarmu, lalu tiba-tiba dia tertawa sendiri, bicara sendiri, menyetel musik keras-keras, lalu menari seperti orang kerasukan. Ia bahkan marah-marah padaku, tapi kalau di depan Ayah dan Ibu, lain lagi. Dia jadi anak yang manis seperti biasa."

Natasha mengerutkan kening, memasang pose berpikir. "Apa kamu merasa tidak melakukan kesalahan? Bisa jadi masalahnya ada pada dirimu."

"Kenapa kalian semua selalu menganggap aku sebagai tersangka? Tidak Ayah, tidak Ibu, sekarang kamu juga," protes Fabian.

Natasha buru-buru membalas, "Biasanya perempuan itu mengirimkan kode saja pada orang yang membuatnya kesal. Mungkin itulah yang ingin disampaikan Lucy padamu."

"Tapi, aku salah apa?"

Sang gadis lantas menggeleng-gelengkan kepala. "Itu hanya kalian berdua yang tahu. Tapi biasanya, laki-laki lambat sekali dalam urusan menyadari kesalahannya. Kalian tercipta sebagai jenis yang tidak peka."

Mendengar penuturan temannya tersebut membuat Fabian merenung. Ya, mungkin saja dia memang melakukan kesalahan yang tidak disengaja dan membuat Lucy marah besar. Walaupun makian dari sang adik, sedikit banyak berhasil membuat sang kakak agak bingung. Pembunuh? Mengapa Lucy menyebutnya pembunuh? Apakah ada hubungannya dengan hamster peliharaan mereka yang mati enam bulan lalu ketika masih tinggal di Korea? Namun, jika itu memang ada hubungannya dengan hamster malang itu, mengapa Lucy baru mengungkitnya sekarang?

"Buang saja egomu dulu, minta maaf padanya dan turuti apa yang dia mau. Dengan begitu, aku yakin kalau kalian bisa berbaikan lagi," ujar Natasha lagi.

"Baiklah, akan aku lakukan saranmu," pungkas Fabian yang lantas mengambil sumpit dan mulai menyeruput minya sebelum membengkak.


***


Hari telah sore ketika sang sulung keluarga Kim tiba di rumah. Ayahnya masih belum pulang dan ibunya masih berkutat dengan wajan dan minyak panas di dapur. Dia tidak begitu kesal Fabian pulang begitu terlambat, karena tadi sudah menerima pesan bahwa sang putra akan mampir di rumah keluarga temannya. Tempat di mana remaja itu tinggal ketika minggat.

"Lucy belum turun dari kamar?" tanya Fabian setelah menaruh tas di sofa. Dia masih kekenyangan setelah menghabiskan satu mangkuk ramen instan dan satu paket pangsit. Mungkin sehabis ini, dia akan melewatkan makan malam.

"Iya, terakhir kali Ibu cek, dia sedang menggambar. Coba kamu cek lagi," balas ibunya sekaligus memerintah.

Dengan agak terpaksa, Fabian bangun dari sofa. Hal yang paling ia benci saat naik ke lantai atas adalah derit tangga yang tua dan lorong yang lampunya selalu redup. Sedikit banyak membuat tengkuknya seperti ditiupi angin. Di depan pintu kamar sang adik, ia mengetuk pelan. Tidak ada sahutan dari dalam. Fabian kembali mengetuk, tetapi belum sempat kepalan tangannya menyentuh kayu, pintu tersebut telah terbuka.

Tidak ada lampu yang dibiarkan menyala. Kegelapan di kamar sang adik kembali meniupkan hawa menakutkan itu. Fabian masuk dengan ragu-ragu sembari memencet sakelar lampu. Jantungnya nyaris melompat ketika menoleh dan mendapati sang adik sedang berdiri di tepi ranjang dengan tatapan tajam.

Ia merapal mantra untuk membuang ego. Kendati sebenarnya bibir Fabian gatal ingin mengingatkan Lucy agar tidak berdiri tepian ranjang seperti itu. Ia tidak ingin sang adik cedera karena jatuh dari sana. Sudah cukup dengan kejadian hilang waktu itu disertai trauma. Ia tidak ingin melihat sang adik di atas ranjang klinik ataupun rumah sakit.

"Lucy, Ibu meminta kita turun untuk makan malam. Kamu tidak keberatan turun, 'kan?"

Pertanyaan Fabian tidak mendapat balasan apa pun selain kesunyian. Lagi-lagi ia mengingatkan diri agar mengalah pada sang adik.

"Lucy, sebenarnya Oppa datang untuk minta maaf. Tentu Oppa sangat sayang padamu, tapi Oppa juga tidak luput dari kesalahan yang mungkin membuat sikapmu tiba-tiba jadi seperti ini. Tolong cerita, apa yang membuatmu tiba-tiba begini? Nanti Oppa akan berusaha keras memperbaiki kesalahan itu, hmm?"

Sang adik tidak kunjung menjawab. Menyadari bahwa Lucy sama sekali tidak bisa diajak kerja sama, Fabian lantas mengelap wajahnya kasar dengan telapak tangan. Apa pun yang terjadi, ia harus bersabar. Ia harus menuruti saran dari Natasha.

"Lucy, tolong bicara sesuatu. Kita harus bicara dan menyelesaikan masalah di antara kita. Mungkin Oppa yang salah, menyinggung perasaanmu atau bagaimana. Maka dari itu Oppa minta maaf, tapi sebagai gantinya, tolong katakan sesuatu."

Sang adik tidak kunjung menjawab, tetapi ia justru meraih lengan Fabian lembut. Tidak lama kemudian ia berkata, "Tidak ada yang perlu kita bicarakan."

Pergerakan Lucy begitu cepat. Bahkan sebelum otak dan mata Fabian memproses apa yang baru saja terjadi, sang adik telah melalukan hal yang tidak terduga. Terlalu menyakitkan hingga ia menjerit kesakitan. Gigi-gigi gadis kecil menancap di daging lengan Fabian, begitu dalam. Hingga ia bisa merasakan darah meleleh dari lengan dan jatuh mengotori lantai.


***

My Little Sister [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang