"Bilang kalau kau tidak tahu sekali lagi, maka aku akan—"

"Akan apa, Pak?" Raka, berwajah sepolos yang ia bisa beranjak dari kursi. Pistol dan belatinya ia simpan tersembunyi di balik jubah dan tuniknya namun dapat ia raih dengan cepat jika dibutuhkan, "Apa ini caramu memperlakukan seorang perempuan? Enggak malu apa?"

Pengawal itu mengarahkan senjatanya pada Raka, memberikan isyarat untuk duduk. Akan tetapi, Raka tidak menurutinya. Mengangkat kedua tangannya, pemuda itu tetap berdiri. Ia berjalan ke tengah lorong bahkan, memikirkan cara bagaimana bisa mengelabui atau melawan kedua pengawal bertubuh besar.

"Lebih baik kau tetap duduk di sana, Nak," si pria berpenampilan necis menghentakkan Nova yang sudah mulai berkaca-kaca, "Bukan saatnya kau sok-sokan menjadi pahlawan seperti itu."

Gadis itu menatap Raka takut. Ia menggelengkan kepala perlahan. Kerongkongan Raka terasa kering. Luke di ujung gerbong menunjukkan batang hidungnya dengan senjata yang sudah ia siapkan.

"Tapi, aku enggak bisa membiarkan seorang gadis menangis dan ketakutan seperti itu, tahu?"

Pintu gerbong terbuka, Luke menembakkan pelurunya pada jendela kereta. Suara lontarannya mengejutkan semua orang. Pria necis itu sontak menoleh, melepaskan cengkramannya rambut Nova. Meraih gadis itu, Kres memposisikannya di belakang tubuh; melindunginya. Kedua pengawal mengarahkan senjatanya pada Luke.

Momentum yang begitu sempit adalah satu-satunya kesempatan Raka menjegal si pengawal. Melihat sosok Luke di balik pintu, Raka tahu apa yang akan pria botak itu lakukan. Raka mengambil langkah lebar, menghunuskan belati dari pinggangnya dan menyayat paha pengawal terdekat.

Pria itu bergeming, mengalihkan tatapannya pada Raka. Tak ada darah; sayatan itu hanya menyobek sedikit seragam si pengawal. Si pengawal sudah mengarahkan popor senjatanya pada kepala Raka namun dia kalah gesit. Tanpa pikir panjang Raka menusukkan belatinya di tempat yang sama, menghasilkan raungan mengerikan dari sosok itu.

Lukanya dalam. Belatinya berubah merah ketika dicabut, meneteskan kentalnya darah. Gang sempit di antara kursi bukanlah tempat ideal untuk bertarung. Jarak pandangnya mengecil, ruang geraknya pun tidak leluasa. Raka mengambil langkah mundur, Nova tengah berlari ke kursi paling belakang; berlindung.

Geraman si pengawal tidak seberapa dengan pekikan Nova ketika rentetan tembakan senjata mengenai jendela kereta. Hingar bingar dan hancur berkeping-keping. Angin berhembus kencang seiring dengan laju kereta, membuat hawa panas serta debu masuk ke dalam gerbong. Luke menembakkan senapan serbu itu pada si pengawal di hadapannya. Namun lontaran peluru yang tidak terkontrol tak bisa membedakan mana kawan maupun lawan.

"Kenapa Luke malah menembak?" seru Kres sembari berlindung di balik kursi, memuat peluru pistol yang ia miliki.

Desir adrenalinnya membuat Raka lebih bersemangat dari yang seharusnya. Mengingat ia hanya seorang rakyat sipil tanpa menggunakan baju anti peluru, nyawanya bisa hilang kapan saja. Setiap lontaran peluru yang mengenai kursi maupun celah antar jendela membuatnya tersentak. Ini tidak baik, ceroboh sedikit saja mereka bisa terpojokkan.

Secara posisi mungkin mereka lebih menguntungkan: sosok bermasker gas itu berada di tengah sementara Raka dan yang lain berada di kedua ujung gerbong, menutup akses keluar masuk. Jika salah posisi, para pengawal dan pria necis itu bisa saja terluka entah dari sudut sebelah mana. Hanya saja mereka profesional. Kesalahan posisi tidak akan berpengaruh banyak kecuali mereka benar-benar beruntung.

Meski sejenak, baku tembak di gerbong itu berhenti. Kres dan Raka saling tatap. Hal yang paling masuk akal adalah kabur namun mereka tidak mau meninggalkan Luke di sudut kereta sendirian. Deru napas dan rintihan yang tertahan terdengar berat. Nampaknya salah satu pengawal masih kesulitan menangani luka tusuk itu.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now