12. Cinta Segi Empat

594 28 25
                                    

Uda Ali menyudutkanku saat pembicaraan di koridor rumah sakit. Kini kami berjalan menuju ruangan tempat Mas Ben dan Diah berada.

"A-ali?" Terbata Mas Ben melihat kedatangan pria itu bersamaku.

"Hm .... Ben, apa kita bisa bicara sebentar?" Bukannya menyambut uluran tangan Mas Ben, Uda Ali malah meminta waktu untuk berbicara empat mata.

"Ada apa? Oh, ya ... tentu bisa," jawab Mas Ben, heran.

Aku hanya bisa menunduk, mencoba untuk berpura-pura tidak tahu tentang kemarahan sahabatnya itu tentang pernikahan kami.

Diah tertidur. Dengan instruksi dari Mas Ben, aku duduk di samping tempat tidurnya untuk menjaga. Dua pria itu lantas melewatiku dan terdengarlah pembicaraan itu samar-samar.

"Sejak kapan kamu mengkhianati Diah?" Tanpa basa-basi, Uda Ali mencecar suamiku dengan pertanyaan itu.

"Hei, tunggu! Ada apa ini?" Mas Ben tidak langsung menjawab.

"Jangan pura-pura lagi, Ben. Aku udah tahu semua. Kamu itu keterlaluan!"

Hening. Mas Ben menjatuhkan tatapannya ke ubin koridor itu. Ah! Ternyata mereka tidak cukup jauh mencari tempat bicara. Bagaimana jika nanti Diah mendengarnya?

"Diah itu mencintaimu dengan tulus, Ben! Apa kamu lupa bagaimana tak mudahnya kalian untuk bersatu, hah? Ah!"

"A-aku ...."

"Kenapa kamu mengkhianati kepercayaan wanita seperti Diah? Istrimu?" Uda Ali terdengar semakin berapi.

"Li .... Aku ...."

"Aku nggak menyangka kamu sebusuk itu. Kotor!"

"Ali! Aku dan Na sudah menikah sekarang. Jangan bicara seperti itu!"

"Menikah dengan menyakiti Diah? Iya hah? Itu yang namanya kotor!"

Terdengar helaan napas putus asa dari keduanya. Air mataku menetes. Aku tahu aku yang sangat bersalah dalam hal ini. Namun semuanya sudah terlanjur. Aku sungguh tidak bisa mengendalikan perasaan cintaku pada Mas Ben.

"Ceraikan Diah! Aku akan menikahinya!" teriaknya lagi.

Aku tersentak dan melangkah menuju jendela.

"Lancang kamu!" Mas Ben mencoba mencengkeram lengan Uda Ali, tapi pria itu mengibaskan tangannya.

"Dia satu-satunya wanita yang kucintai sejak dulu. Kau merebutnya, lalu menyakitinya. Kau yang lancang!" Uda Ali berusaha sekuat tenaga menjaga agar volume suaranya tak mengganggu sekitar, tapi gagal. Beberapa orang yang berada tak jauh dari tempat itu menoleh dibuatnya.

Mas Ben terpana. Sepertinya ia tak tahu tentang perasaan Uda Ali pada istri pertamanya itu. Mereka pasti tak menyadari aku memperhatikan semuanya sejak tadi, menatap ke arah mereka yang tampak kesulitan mengendalikan emosi.

Cukup lama hingga akhirnya Mas Ben memohon, "Ali ... tolong penuhi permintaanku waktu itu. Bersandiwaralah kali ini untuk ketenangan hati Diah. Aku sangat mencintainya. Tolong!" Ucapan yang sepertinya justru membuat lawan bicaranya mual.

Menit selanjutnya kami terhenyak di ruangan perawatan. Diah sudah bangun. Ia tak melepaskan genggaman tangannya dari Mas Ben. Uda Ali yang melihat kejadian itu tak sanggup menahan air matanya.

"Diah ...." Suaranya bergetar.

"A-Ali? Kamu di sini?" Diah tersenyum penuh tanya. Ia meraba tangannya ke udara.

"Iya, Di. Aku ... di sini." Susah payah pria itu mengatur emosinya yang masih berantakan karena pertengkaran tadi.

Uda Ali tak menyambut tangan Diah. Sepertinya memang sangat menjaga hubungan antara pria dan wanita. Ah, aku malu!

Awalnya ia mencoba basa-basi, lalu dengan berat hati mulai bersandiwara tentangnya, aku, kami semua. Diah hanya tahu bahwa aku adalah adik sepupu Uda Ali yang datang dari kampung untuk bantu-bantu di rumah mereka. Perih hati ini jangan ditanya. Aku berlari ke luar ruangan, tak sanggup membendung air mata di hadapan mereka.

***

Akhirnya, sampai juga aku pada babak baru dalam pernikahan ini. Diah dan Mas Ben sudah dipersilakan pulang. Aku, Mas Ben, Diah dan ibunya baru saja memasuki halaman sebuah rumah modern minimalis. Ada taman indah yang menghiasi sisi kanan dan kirinya. Aku kagum.

Sejak menikah dengan Mas Ben, aku jarang sekali ikut berbincang bersama. Sengaja agar Diah tak curiga. Begitu pun hari ini. Sementara ibu Diah membantu anaknya berjalan menuju rumah, dalam diam kupapah Mas Ben dari mobil ke kursi roda.

"Ayah ... Bundo ...." Robin dan adiknya menghambur keluar dari rumah.

Tangisan haru menyelimuti teras rumah beberapa saat. Selama orangtua mereka dirawat di rumah sakit, kedua anak itu dijaga oleh salah seorang keluarga Diah.

"Ayah masih pakai kursi roda?" tanya Robin, polos.

Tak ada yang mampu menjawab. Hanya air mata yang mencoba menerangkan, tapi jelas tak bisa dimengerti oleh anak sekecil dirinya.

Waktu berlalu. Aku mulai disibukkan oleh pekerjaan rumah yang menumpuk. Mulai dari mengurus Mas Ben, Diah, anak-anak dan juga membereskan rumah. Ibunya Diah sangat puas melihat pekerjaanku keteteran.

Dengan senang hati ia akan mulai menyeret lenganku, lalu memarahiku di dalam kamar. Sepertinya ia mencoba terlihat baik di hadapan anggota keluarga yang lain, dan menindasku dalam waktu bersamaan. Tak apa. Kurasa, aku bisa bertahan menghadapi semua itu.

Setiap hari, malam adalah saat yang paling kutunggu karena saat itulah aku bisa benar-benar beristirahat. Aku tidur di kamar tamu seorang diri, Mas Ben dan Diah tidur di kamar mereka, sementara anak-anak tidur bersama neneknya.

Sudah sepekan kami di rumah. Mas Ben tampak memulai pekerjaannya kembali. Perasaanku tak enak saat menangkap raut wajahnya yang gelisah. Lima menit yang lalu ia bergegas menuju ruang kerjanya, dan aku membuntuti hingga pintu.

"Apa? Batal? Apa nggak bisa dibicarakan lagi? Kami sudah menyiapkan semuanya, Pak." Begitu kudengar ucapannya pada seseorang di ujung telepon.

Selanjutnya, Mas Ben melayangkan tinjunya ke meja, membuatku terkejut. Ia tampak sangat kacau. Ingin sekali memeluk dan menenangkannya, tapi aku mencoba menahan diri. Ini masih siang. Bagaimana kalau terlihat oleh yang lain.

Namun setelah sekian menit kubiarkan, jiwaku berontak. Perlahan aku melangkah mendekatinya. Dalam diam kuamati tubuh yang kini bertumpu pada meja itu berguncang. Mas Ben menangis!

"Mas ...," ucapku membelai lembut kepalanya.

Tangisan itu terhenti. Ia mengangkat kepala dan manik mata kami beradu.

"Na ...."

Sedetik kemudian lengannya sudah melingkar di pinggangku, memelukku dalam tangisnya yang kini tak lagi terbendung.

"Semuanya hancur, Na. Semuanya."

"Mas ... yang sabar, ya." Bergetar suaraku menahan air mata.

Lama ia kudekap. Perasaan yang kian melebur menggerakkan tubuhku untuk berlutut disampingnya. Kini wajah kami sedekat itu. Mas Ben menatapku. Pancaran cinta terlihat jelas di sana.

Baru saja kurasakan hangat bibirnya menyentuh bibirku, seseorang memukul keras pintu yang memang tak tertutup.

"Hentikan!" teriaknya.

Aku terperanjat, spontan berdiri, dan tak tahu apakah kini harus membela diri atau mengaku salah.

*** 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang