Prolog

40 7 3
                                        

IZZA

~~~

Bagiku menang itu seperti bernapas

~~~

Ya, aku tidak pernah merasakan kekalahan seumur hidupku.
Bahkan aku tidak pernah mengerti, rasa bagaimana aku bisa kalah dari seseorang.

Panggil saja, Izza. Semuanya memanggilku seperti itu.

Aku hidup dikeluarga konglomerat. Seluruh kebutuhan ku terpenuhi. Dari segi pendidikan aku ditempatkan disekolah terbaik, aku dapat bersekolah disana bukan hanya karena aku dari keluarga yang konglomerat, tapi sebenarnya aku memang pantas bersekolah disana.

"Bagaimana dengan sekolah kau,Izza" tanya ayah saat makan malam.

"Seperti biasanya, nilai akademi masih diperingkat pertama. dan hal lain seperti olahraga, berjalan baik." Jawabku santai

Ayah manggut-manggut mendengarnya. Memang hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sudah lama kumiliki.

Aku teringat sesuatu "Minggu depan turnamen basket akan segera dimulai, apa ayah bisa melihatku bermain?"

"Sudah pasti ayah akan melihat turnamen itu." Jawab ayah sembari melahap makanannya.

Seperti itulah,
Aku sudah lama mengikuti berbagai turnamen bola basket. Sejak kecil aku menyukainya. Sejak ibu memberikan hadiah bola basket. Itulah olahraga pertama yang aku sukai.

Ibu meninggal beberapa tahun lalu. Saat kulihat wajahnya, aku selalu teringat saat pertama kali ibu memberikan bola basket di perayaan ulang tahunku. Ia selalu tersenyum melihatku bermain.

Aku menjalani kehidupan disekolah, sama seperti anak-anak lainnya. Pagi berangkat sekolah, biasanya sampai malam hari baru pulang kerumah karena ada latihan tambahan bola basket.

Pelajaran oke, olahraga juga oke. Kurang apalagi? Mmm semua yang ku ikuti dapat dipelajari dengan mudah.

Sepertinya aku harus mencari sesuatu yang baru. Pikirku.

Aku berencana keluar rumah malam ini. Ntah apa yang kucari, tidak ada tujuan yang pasti. Hanya ingin menemukan sesuatu yang baru.

Sebelumnya aku harus memastikan ayah terlebih dahulu. Bila dia melihat anaknya malam-malam pergi, pasti dia mengirim beberapa orang untuk menjagaku.

Aku melirik ke meja kerja ayah. Ya, dia sedang ada disana. Selanjutnya tinggal satu orang, eh sebenarnya ada tiga orang yang harus kupastikan sebelum pergi. Ayah, bibi Nay(salah satu pembantu yang dekat dengan ku), dan yang terakhir pak Doddy(salah satu security penjaga gerbang rumah).

Aku sudah bilang pada bibi Nay, bahwa aku akan keluar rumah. Dan dia memaklumiku. Bibi hanya bilang
"Jangan lama-lama,Izza. Bila terlalu larut, ayah akan menanyai bibi". Aku mengangguk sebagai jawabanya.

Aku mengambil sepeda, menitihnya kearah gerbang.  Disana sudah terlihat seorang berbadan besar, mengenakan seragam security nya. Dia biasanya menjadi bodyguard keluarga bila ada acara besar.

"Tumben sekali, mau kemana nih?. Udah izin sama ayah, Izza?" Pak Doddy melangkah mendekati sepeda. Mencoba menghalangiku.

Aku berhenti sebentar. Mencoba tidak menatap muka curiga pak Doddy. Pandanganku tetap kearah gerbang.
Beberapa detik kemudian aku melanjutkan langkah, mengabaikan pertanyaan tadi.

"Aku tidak akan mengizinkan kau pergi, sebelum kau memberitahu ayahmu. Bila kau pergi tanpa izin, bisa-bisa aku akan dimarahi!" Pak Doddy mulai membentak. Sekarang dia memegang erat stang sepedaku.

Bagus, Dia mulai terpancing

"Aku ingin keluar sebentar, tidak bisakah kau memberiku jalan, pak?"

"Tidak bisa!!, Kau pasti belum izin dengan ayahmu." Bentakan pak Doddy mengeras. Aku menelan ludah.
Kalau dia membentakku lagi, pasti urusannya akan panjang. Dan ayah akan mendengar keributan ini. Aku harus segera menyelesaikannya

"Bila aku tidak memperdulikan omongan bapak. Lantas aku keluar rumah, bagaimana?" Aku mencoba melawan.

"Kau tidak akan bisa melewati ku, Izza"

Aku tertawa kecil mendengar jawaban pak Doddy. "Memang satu-satunya jalan untuk keluar rumah ini, hanya melewati gerbang depan?, Aku bisa saja melompati pagar disisi lain rumah"

Pak Doddy tertegun. Matanya membulat. "Jangan, kau jangan pernah melakukan itu. Ayah pasti akan marah besar pada kau"

"Ayah tidak akan marah padaku. Aku bisa saja bilang, ada keperluan sekolah, atau memfotokopi dan sebagainya"

"Keperluan dan fotokopi?, Kau saja tidak membawa apa-apa. Bagaimana kau menjelaskannya pada ayah kau?"

"Kalau aku yang menjelaskan, kemungkinan besar ayah akan percaya padaku. Dan akan membela anaknya. Seperti itu bukan?" Aku tersenyum lebar melihat respon dari pak Doddy. Ia mengerutkan dahi. Mendadak bingung.

Urusan selesai, aku mulai melangkah melewati penjaga gerbang. Saat sudah diluar. Aku tertawa kecil.

Betapa mudahnya ia dibodohi, apakah ia benar-benar security keluarga kami?.

Sudahlah lupakan saja, ingat tujuan ku keluar rumah malam ini.

***

Author~

Barangkali banyak salah😅 soalnya baru belajar hehe✌️
Kasih masukan ya😁
Semoga Istiqomah nulisnya😊

Jangan lupa :v

Tue, Jun 16








Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TheGameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang