Season 1

12 1 0
                                    

Pagi ini terasa seperti biasa. Semua berkumpul di meja makan dengan kesibukan yang sama.

Sarapan.

Darek duduk di samping Ibunya, dan akan selalu begitu. Setidaknya sampai dia tidak sengaja membeberkan rahasia.

Entah apa yang membuat mereka mempercayai Darek. Darek yang tidak terlalu cerdas, tidak terlalu tampan, dan tidak terlalu gaul. Jika dipikirkan, Darek memang seperti seorang anak yang tidak sengaja terbuat. Tau dong maksudnya, kebobolan.

"Anika hari ini ada janji sama teman mah, pah."

Anika, ya. Darek tau kakak pertamanya itu cantik, pintar, bahkan dia sekarang seorang jaksa diumur yang masih terbilang muda. Tapi ini hanya Darek yang tau.

"Oke sayang, hati-hati". Mama Papa memang seperti itu, terkesan tidak peduli tentang aktivitas anaknya. Mungkin bagi mereka, masing-masing manusia sudah mengetahui mana jalan terbaiknya. Hanya dengan melapor bahwa mereka akan pergi keluar itu sudah cukup. Namun begitu, mereka sangat menyayangi satu sama lainnya, dan menjadikan keluarga ini selalu terlihat harmonis.

"Bang Arken bisa anter Darek kan? Sepeda Darek rantainya lepas bang belum dibenerin."

"Sekalian aja berangkatnya sama Ka Anika tuh. gue buru-buru." Farken berkilah.

"Ngga bisa Ken, gue aja dijemput temen."

"Yaudah."

Arken mengambil jas hitamnya yang Ia sampirkan di kursi, dan bergegas menyalimi kedua tangan orang tuanya. Darek yang melihat pergerakan kakanya itu memutuskan mengambil sepotong roti yang akan dirinya makan saat dimobil nanti.

"Darek berangkat mah, pah, kak."

"Hati-hati saying."

"Kak Anika, Darek nitip donat ya. Makasih."

"Bukan nitip itu, malak!". Darek hanya menanggapi perkataan kakanya itu dengan tawa.

Deru mobil mulai terdengar pelan saat Arken menginjak pedal gas. Mereka berdua kini sudah melewati pagar rumah mewah dengan nuansa modern. Arken sibuk dengan pikirannya, dia tau Darek tidak akan mau diajak bicara saat sedang sibuk mengunyah.

"Bang Arken kenapa bisa percaya sama Darek?"

"Tumben itu mesin pengunyah ngomong."

"Ngga tau, mesinnya dol."

Arken terkekeh.

"Cuma lu kayanya yang ngga banyak tingkah."

"maksudnya?"

"Ya ngga salah kan orang cerita tentang pekerjaan dia ke keluarga. Lagian gue kan tau tuh kerjaan lo apa, jadi ya imbalannya gue kasih tau kerjaan gue apa."

"Bedeng! Darek kan pelajar, ya jelas abang tau lah!"

"haha gasopan."

Setelah percakapan singkat itu, Darek turun dari mobil Arken. Dia membiarkan mobil itu kembali melaju, membaur ke lalu lintas yang terbilang cukup padat.

"Dar!"

"aduh aduh kaget." Lubish mengusap dadanya dramatis.

"Garing sinting!"

Darek tertawa melihat tingkah konyol kedua temannya itu. Aby dengan sifat ngegasnya, dan Lubish yang selalu dramatis terhadap hal apapun. Rasanya sempurna untuk Darek.

"Dar, nanti jadi? jadiin lah, gabut gua."

"Belum tau, emang rencananya mau di mana by?"

"Rumah lu aja, banyak makanan pasti."

"Ogah gue nerima lu berdua."

"Yaelah Darek masih aja pelit. Udah berapa tahun kita ngejalin hubungan Dar, hah?"

"Lu mending diem aja kambing!" Lubish mengaduh kesakitan setelah menerima jitakan dari Aby.

"Yaudah tempat pikirin nanti dah, gue udah terlanjur ngajak Inshira sama Gista jadi tolong jadiin lah ya."

"Kalian berdua aja lah."

Darek mulai melangkahkan kakinya menuju koridor yang kini kian ramai. Dirinya tidak mau dihukum hanya karena telat masuki kelas. Bisa habis terbakar kulit putih Darek karena hukuman.

"ngga seru kalo gak ada lu, bro". Seperti biasa, Aby yang terkenal pantang menyerah jika dikaitkan soal main tidak akan membiarkan Darek bagitu saja saat menerima penolakan.

"Yaudah liat nanti"

Dilain tempat

"Agen XA3, sudah sampai pak"

"Suruh dia masuk"

"Baik Pak."

Pemuda berjas hitam itu keluar ruangan menjalankan perintah dari Kepala Badan Intelejen Negara.

"Permisi."

"Farken"

"Baru kali ini saya harus memarkirkan mobil di Gedung Pembangunan. Lokasi yang bagus pak."

Jerome mematikkan rokoknya, menghilangkan debu yang tidak akan berguna lagi.

"terlalu resiko kalau mobil kamu terekam di Kantor itu setiap hari. Terlebih tidak sedang ada urusan apapun."

"Ada perlu apa pak?" Tanya Arken.

"Agen sebelumnya tidak berhasil memecahkan kasus ini. Dia meninggal terbunuh saat sisa satu langkah lagi kami akan mengetahui semuanya."

"Saya turut berduka cita. Apa bapak menyuruh saya untuk mencari tahu siapa pembunuhnya?"

"Tidak perlu. Itu sudah menjadi bagian dari konsekuensi."

"Lalu?"

"Ungkap kasus peredaran narkotika dunia. Cari tahu siapa ketuanya."

Untuk pertama kalinya, Arken merasa gugup. Keringat dingin yang tidak pernah dirinya rasakah tiba-tiba menguasai tubuh. Puluhan kasus yang sukses Arken bongkar seolah meluap begitu saja. Arken merasa seperi kembali pada dirinya yang baru saja menginjak dunia intel ini.

"Kenapa? kamu tidak sanggup? Setahu saya kamu cukup unggul dibanding agen saya yang lain. Pengalaman kerja di dunia intel kamu yang memang masih pendek, saya rasa tidak masalah setelah melihat riwayat kasus yang terungkap."

"Tidak pak saya sanggup. Hanya saja mungkin agak sedikit bingung harus memulai dari tingkat mana."

"Soal itu tenang saja, kamu selalu ada dalam bimbingan saya. Tunjangan juga akan segera saya tingkatkan untuk semua perlindungan kamu."

"Baik Pak, saya paham."

"Persiapkan diri kamu."

"Siap, segera."

Arken meninggalkan ruangan dingin itu dengan nafas yang Ia hembuskan berkali-kali. Entah pertanda apa, tapi pria berjas itu merasa bahwa pekerjaan intel ini tidak akan menyenangkan seperti sebelumya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 30, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

a way of survivalWhere stories live. Discover now