23. Salah Sangka

165 40 11
                                    

Tiap kali Sashi menatap rumah tetangganya, sebanyak itu pula ia berpikir tentang rasa di hatinya. Apa benar ia menyukai Tison? Menaruh rasa kagum, memang iya. Itu kenyataan. Tapi suka sebagaimana perempuan kepada laki-laki?

Entahlah.

Apa ciri-ciri orang jatuh cinta? Dada berdebar tiap berdekatan? Serasa ingin selalu berbicara? Ada perasaan bahagia meski hanya melihat dia yang disukai?

Well, Sashi merasakan itu. Beberapa kali sempat menahan diri untuk tak mendekati Tison karena yang ia pikir, ini hanya sebatas rasa kagum berlebihan. Mana tahu ternyata ia dihadapkan pada hal seperti sekarang.

"Sikha, sekarang gue udah nggak sama Soraya lagi. Dia milih untuk nikah sesuai permintaan orang tuanya, sama cowok yang udah dijodohin ke dia."

Sashi masih ingat bagaimana hatinya ikut teremas saat melihat bahu Tison yang meluruh di bangku kayu depan rumah laki-laki itu. Baru saja turun dari mobilnya dan nampak kacau. Ada perasaan ingin berbagi kesedihan. Ada dorongan untuk segera memberikan satu pelukan hangat, membiarkan laki-laki itu melepas sedih di bahunya. Tapi, semua hanya mampu terakumulasi dalam satu usapan lembut di punggung.

"Sabar Kak, mungkin Kak Soraya memang bukan yang terbaik buat kakak. Bisa aja nanti akan ada pengganti yang jauh lebih pas untuk kakak."

Ia mengucapkan itu dengan tulus. Diselipkan satu doa dalam hati agar Tison bisa kembali menemukan kebahagiaannya yang selama ini hanya berpusat pada Soraya. Tanpa Sashi sendiri sadari, dalam hati ia ikut mengucap namanya dalam doa itu.

Apa ia menahan perasaannya sejak lama dan selalu denial? Tak mengindahkan beberapa kali ia tersadar tengah menatap Tison ketika tetangganya itu bersiap ke kantor ataupun melakukan aktivitas lainnya. Mengatakan pada diri sendiri jika Tison hanyalah sebatas kakak untuknya.

Perempuan itu mendesah kecil. Masih saja berdiri di depan pintu pagar rumah sambil membawa sebuah kotak makan berisi pudding brownies cokelat buatannya. Salah satu kudapan kesukaan Tison.

Kenapa aku harus bersusah-payah membuat semua ini?

"Sikha, nggak jadi mau ngasi pudding-nya ke Nak Tison?" Suara bunda membuyarkan lamunannya.

Membuat Sashi dengan segera menoleh, memberi senyum kecil lalu mengangguk. "Iya Bun, ini mau Sikha bawa sekarang." Ia menarik napas panjang sebelum melangkahkan kedua kakinya. Memasang senyum di wajah sebelum melambai dan berteriak kecil. Menyapa Tison yang kala itu tengah mencuci mobilnya di halaman depan rumah mereka. "Kak Tison!"

Tison yang asik mengusap kap mobilnya menoleh. Ikut tersenyum begitu melihat Sashi yang berjalan ke arahnya sambil membawa sesuatu dalam kotak makan besar. Ia meletakkan lap kanebonya dan mencuci tangan dengan air keran sebelum mendekati tetangganya itu. "Hey, Sikha. Kenapa?"

Sashi merutuki dirinya sendiri yang tak bisa menahan perasaan aneh dan menggebu ini. Perasaan yang muncul beberapa hari belakangan saat ia memutuskan untuk menjadikan Tison sebagai pelabuhan terakhirnya.

"Ini Kak, gue buat pudding brownies." Ia menyodorkan bungkusan itu yang diterima Tison dengan wajah berbinar. Laki-laki itu dengan tak sabar membuka sedikit tutup kotak makannya. Meneguk ludah saat mendapati dirinya tak sabar memakan kudapan kesukaannya itu. "Keinget kakak suka, makanya sekalian gue sisihin dan bagi buat kakak."

Sashi berbohong saat mengatakan ia sengaja menyisihkan pudding itu untuk Tison. Karena nyatanya, ia sengaja membuat pudding tersebut untuk tetangganya. Memang berniat ia berikan semua.

"Wah serius nih, nyisaiinnya sebanyak ini?"

"Iya, Kak. Kebetulan gue buatnya banyak banget."

"Tumben? Emang mau ada acara apa?"

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now