STAGNASI #1 BERSAMA ALFA

30 2 4
                                    

Sebuah keadaan berjalan berulang-ulang, melewati jalan yang sama, memutar-mutar, seperti sudah menjauh padahal hanya bergeser. Hidupku terlalu stagnan. Dan istilah tersebut termasuk istilah baru yang ada dalam kamus idiolekku. Semua itu karena kita tak mengerti bagaimana takdir berjalan dan bermain sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Rupanya kita masih polos dalam menanggapi takdir. Kita terlalu optimistis jikalau di ujung jalan akan ada tujuan kita, akan ada takdir kita, akan ada yang kita cari. Takdir memutar roda-rodanya yang membuat kita seperti berputar-putar dalam siklus yang sama, seolah kita telah jauh melangkah, padahal sebenarnya kita tak menempuh jalan apapun, kita tak maju selangkah pun, stagnasi!

Kalau kalian, sering mengalami stagnasi dalam hal apa?

***

Bersama Alfa, mereka mengenalku sebagai Sinar. Menjadi Sinar seharusnya bercahaya dan menerangi kegelapan. Namun, Sinar ini adalah kegelapan yang tersurai dalam cahaya Alfa. Alfa terlalu popular di kalangan mahasiswi, kecuali Aku. Alfa tak sampai menembus biografi kehidupanku. Siapa Alfa?

***

Di kampus, aku tidak mengikuti organisasi apapun, begitu pula untuk mengikuti klub-klub yang ada di sana. Memang benar kata mereka, bahwa orang-orang seperti aku adalah kupu-kupu (kuliah pulang), sedangkan orang-orang seperti Alfa adalah kura-kura (kuliah rapat).

Para kura-kura itu sangat jarang sekali terlihat di kelas atau di kosan atau di kontrakan mereka. Terkadang, mereka hanya berkelebat di macam-macam tempat untuk sekadar lalu dari para kupu-kupu. Sedangkan para kupu-kupu, mereka sangat mudah ditemukan di taman bunga, di kosan atau di kontrakan atau di kelas-kelas. Mereka memiliki satu tujuan ketika berangkat ke kampus, yaitu kuliah, selebihnya hanya tambahan-tambahan yang tidak diwajibkan.

Satu lagi perbedaan dari kedua ras itu, adalah jika kalian ingin bertemu dengan para kupu-kupu, kalian harus tahu jadwal kuliah mereka, sedangkan jika kalian ingin bertemu dengan para kura-kura, maka banyaklah berdoa kepada Tuhan agar kalian bisa bertemu di waktu yang tepat.

Suatu hari, aku harus janjian dengan seseorang di perpustakaan. Aku akan meminjam buku yang telah ia pinjam. Kalau bukan karena buku itu sangat penting sebagai referensi tugas kuliahku, aku takkan rela menunggunya sampai menjamur di bangku perpustakaan yang semakin sore semakin sepi itu.

Sambil menunggunya, kesenjaan yang terlihat di luar jendela perpustakaan membuatku teringat kampung halaman. Kehangatan yang terpancar dari sinarnya seolah menghadirkan ibu dan ayah yang jauh di kampung sana. Hmm, senja memang sangat indah untuk diajak merenung. Tapi dia perlahan-lahan pamit ketika kelopak mataku mulai tergenang. Surup pun merambat diam-diam dari dinding-dinding langit yang semakin menghitam.

"Kamu ke mana aja sih, aku sudah menunggu dari habis Asar, sampai-sampai matahari bosan menemaniku dan sekarang sudah pamit undur diri?!" bentakku kepada nomor yang tertera dalam kontak di telepon genggamku.

Dengan kesal aku bertanya kepada petugas perpustakaan untuk kesepuluh kalinya. "Apa dia sudah mengembalikan bukunya?"

"Belum, kamu sudah menghubunginya?"

"Sudah, sudah sepuluh kali juga,"

"Lebih baik kamu pulang saja, besok datanglah lagi."

Kontrakanku dengan perpustakaan kampus lumayan jauh, lebih dekat ke fakultasku ketimbang ke perpustakaan. Oleh karena itu, aku malas sangat untuk pergi ke perpustakaan. Andaikan! Andaikan! Dia pikir dia siapa seenaknya melupakan janji dengan orang lain. Setidaknya anggaplah janji itu seperti hutang, sehingga kamu akan membayarnya (menepatinya). Dia telah berhutang padaku!

STAGNASIWhere stories live. Discover now