Bab 2 (Mak Comblang)

1.1K 16 1
                                    

”Apa? Ini doang yang jadi?!” tanya Raka dan Olga bersamaan. Kaget.

Di hadapan mereka berempat saat ini—Olga, Raka, ditambah dengan Shilla dan Putri—terhampar alat serta bahan-bahan untuk membuat display mading. Ada karton manila warna-warni, spidol, selotip, stapler, sampai hias-hiasan lucu, serta laptop milik Putri.

Tapi bukan itu yang membuat Olga dan Raka terkaget-kaget. Mereka kaget karena melihat selembar kertas A4 penuh tulisan hasil wawancara, juga sebuah perekam suara yang memperjelas isi kertas tersebut, tapi tanpa foto sama sekali.

”Iya,” jawab Putri cuek.

Olga mengernyit. ”Kalau nulis artikel, kita bisa. Tapi gimana caranya gue dan Raka bis angedekor kalau foto aja nggak ada?”

”Kamera gue ketinggalan,” ujar Shilla cepat sambil menyempil di antara Raka dan Putri. ”Daripada nggak jadi wawancara sama sekali, gue dan Putri akhirnya wawancara tanpa ngambil foto.”

”Nggak bisa lewat HP?” tanya Olga.

”Bisa,” kata Putri. ”Tadinya gue juga kepikiran gitu, tapi kalau gue pikir-pikir lagi… kamera HP nggak bisa bikin foto yang kualitasnya bagus, kan? Gelap. Jadi buat apa?”

Olga mengernyitkan dahinya. ”Kalau tanpa foto, emang bisa ditampilin di mading?”

”Bisalah,” kata Putri.

”Tapi nggak bagus,” timpal Raka. Ekor matanya melirik Shilla yang pas berdiri di sebelah kanannya. ”Fotografernya gimana, sih? Bisa-bisanya kelupaan.”

Putri dan Olga saling lirik. Mereka berdua menyadari bahwa akan ada adu mulut hebat setelah ini.

Benar saja.

Shilla mendengus dan melipat kedua tangannya di depan dada. ”Jadi lo mau protes karena gue nggak bawa kamera? Terus lo sendiri gimana? Nggak dateng wawancara narasumber aja, pake protes segala! Lo malah harusnya bersyukur karena nggak gue hajar.”

”Dasar sok! Ngapain gue bersyukur karena lo nggak ngehajar gue?” tanya Raka. ”Hajar aja nih!”

Shilla melotot. ”Apaan, sih?”

”Ngaku aja lo nggak profesional,” ujar Raka cuek. ”Udahlah.”

”Lo itu yang nggak profesional!” balas Shilla kesal. ”Masih mending gue, karena gue kelupaan, sementara lo nggak dateng sama sekali! Berarti gue punya usaha, dan lo enggak sama sekali!”

”Untuk apa usaha banyak, kalau barang yang diperluin ketinggalan?” tanya Raka mencemooh. ”Sama aja nggak kerja, kali. Cuma ngumpulin capek doang.”

”Eh, jangan nyolot ya! Gue lebih senior dari lo untuk urusan mading!”

Raka membelalak. ”Senior atau junior itu bukan masalah!” seru Raka marah, ikut terbawa emosi karena Shilla mulai membawa masalah ’senior-junior’. ”Kalau juniornya lebih cerdas dan kreatif, seniornya juga pasti kalah!”

Aaaargh!” jerit Shilla.

Ish!” dengus Raka.

Shilla dan Raka sama-sama membelalak kesal. Shilla sudah mengepalkan tinjunya dan Raka membalasnya dengan cibiran, seolah mengatakan ’tidak takut’. Mereka berdua mungkin akan benar-benar berkelahi di lapangan setelah ini.

Yeah, selalu begitu. Setiap mereka bertemu, pasti ada masalah sepele yang membuat mereka berdua ribut. Masalah bahan madinglah, narasumber yang akan dihubungilah, bahkan sampai masalah merek baju atau kenapa rambut Shilla tidak disisir….

Tidak jarang ada yang heran kenapa mereka berempat—Raka, Olga, Putri, dan Shilla—masih bisa bertahan dalam satu tim Jurnalistik Mading Sekolah (JMS) kalau harus mendengarkan perdebatan sengit yang selalu terjadi itu.

Inikah Rasanya Cinta (Cuplikan Novel)Where stories live. Discover now