Mark Lee

138 6 0
                                    

Mark Lee berjalan dengan keadaan setengah sadarnya, well, perceraian orang tuanya seperti fenomena gunung es yang lelehannya seakan membekukan hati dan pikirannya secara tiba-tiba di waktu yang sangat tidak tepat.

Mereka baik-baik saja selama ini, meski tak jarang ada pertikaian.

Semua hal rasanya salah, kehadirannya pun begitu.

Semua orang seakan hilang begitu saja, semuanya seakan tenggelam entah kemana.

"Mark, aku bukannya gak ngerti kondisimu, tapi kamu beneran terlalu acuh akhir-akhir ini. Aku-"

"Aku capek, and you know it."

"Iya aku juga, tapi bisa ngertiin aku dulu? Aku gagal masuk universitas impianku a-"

"Let's break up then," ujarnya final, nadanya datar, angkuh, seakan tidak ada lagi kehangatan di sana.

"Tapi Mark-" Kanya berusaha menahannya, namun ini sungguh salah.

Mereka salah, ini bukan kondisi terbaik mereka, harusnya mereka tidak bertemu hari ini.

"I. said. we've. just. broke up."

Kesalahan perempuan itu hanya bertemu dengan Mark hari ini. Jauh sebelum itu sebenarnya Mark sudah tau bahwa memacari anak kutu buku penuh ambisi tanpa emosi, terlalu klasik jika alasannya karena mereka dipertemukan kata.

Tidak, mereka tidak pernah bertemu, tujuh bulan ini hanya kesia-siaan.

Mereka hanya bertabrakan, sehingga butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya.

***

"I quit," Mark menggeret koper besar serta tas ranselnya.

"Okay, but don't even dare to use all the facilities I gave."

Mark menaruh black card, kunci mobil, serta seluruh gadget. Beruntung Mark masih memiliki relasi yang bagus, teman-temannya cukup loyal untuk urusan tempat tinggal dan lain sebagainya. Mark tidak pergi dengan otak kosong. Seluruh hal sudah ia rencanakan dengan baik sebelum ini.

Sejujurnya banyak ketakutan, belum lagi dengan kepergiannya, ini berarti Mark telah membuang seluruh hidupnya yang penuh dengan kemewahan.

Tapi ini cara terakhir, agar dia bisa menjalani hidup sesuai keinginannya. Papanya tidak mungkin mengizinkan Mark bermusik, sementara mamanya? Sudah pergi bersama lelaki impiannya, kasih tak sampai semasa SMAnya dulu.

Lucu ya, Mark rasanya tidak ingin menertawakan hidupnya, tapi menangis pun sudah tidak berguna. Semuanya berantakan sejak hari itu.

***

"Meira Kim, HI 2014," perempuan itu membenarkan letak kacamata frame hitam kotaknya, terlalu sibuk untuk sekedar menatap lawan bicaranya.

"Mark Lee, Bisnis 2014," Mark mencoba menyodorkan tangannya, namun berkas-berkas di tangan Meira agaknya sudah cukup menjelaskan situasi mereka.

Rumit, bahkan untuk sekedar bersalaman.

"Do you need any help?"

"No need, I'm in a rush."

Sejak pertemuan di selasar kampus empat tahun lalu saat maba itu, setidaknya mereka masih terus bertemu sampai saat ini.

Sampai ada gelar tertentu,

"Marknya Meira?"

"Oh, Meiranya Mark?"

Begitu panggilan mereka di beberapa tempat, sampai sekarang. Sampai di mana Mark mendapatkan posisinya sebagai seorang penyanyi indie yang begitu dijunjung oleh penggemarnya.




Haloooo! Kembali lagi bersama cerita Mark Lee! Gak ngerti kenapa otak gue lancar jaya soal per-mark lee-an. Jadi memutuskan untuk comeback bersama masnya.

Oiya, bisa dibilang mungkin ini latar belakang, latar tempat ceritanya gak begitu jelas. Well, ini fully created by my own imagination aja. Jd ini halu bgt yg mungkin ada sedikit sentuhan personal hehe.

Hope you guys enjoy it!!!! Luvvv

Mark(s)Where stories live. Discover now