3

96 9 0
                                    

Gadis itulah yang pertama kali dilihat oleh Kiro. Dengan baju overall yang amat cocok dengannya, (name) memainkan gitar dengan perlahan, melantunkan melodi-melodi sederhana yang terasa mendamaikan.

Namun, netra gadis itu mencerminkan sebaliknya. Kedua matanya merefleksikan rasa takut yang amat besar, seolah hidupnya tidak lama lagi.

(Name) memandang ke langit, tangannya gemetaran hebat. Gitar akustik yang ia pegang terjatuh, bunyinya cukup untuk membuat sang gadis terperanjat.

"Berapa lama lagi aku harus menunggunya datang?" Ia menghela napas, memetik senar gitar dengan asal-asalan.

Kiro hanya bisa memandang. Seandainya ia datang lebih cepat, apakah ia masih bisa bertemu dengan gadisnya? Pemuda itu ingin sekali meraih tangan (name), meluapkan rasa rindu yang sudah menumpuk sekian lamanya.

Akan tetapi, ia tidak bisa melakukan apa pun. Semua ini hanyalah sebuah masa lalu, memori yang tak akan bisa diulang kembali, sebesar apa pun ia memohon.

Seberkas cahaya putih membutakan pandangannya, Kiro lantas menutup penglihatannya dengan tangan. Ia menunggu sekian menit sebelum mengerjap beberapa kali.

Adegan berganti menjadi malam, langit begitu gelap dan tidak bersemangat.

Kiro memandang sekitar, tidak ada yang begitu menarik perhatiannya. Tempat itu sepi, tanpa ada satu orang pun yang lewat. "Apa-apaan ini?" Alisnya terangkat sebelah, tetapi ia memutuskan untuk menunggu dengan sabar.

Sebuah rintihan mengusik pendengarannya. Suara pilu dan keputusasaan yang besar merasuki setiap sudut markas favoritnya itu.

Pemuda berambut pirang itu mengernyit tatkala bau amis darah menyapa hidungnya. Tak lama kemudian, suara rintihan kembali terdengar, kali ini jauh lebih tak bertenaga.

Dari kejauhan, Kiro mendapati sosok seorang perempuan yang berjalan terseok-seok sembari memegangi perutnya.

Satu menit.

Dua menit.

Dan Kiro langsung mengenalinya. 

"(Name)!" Ia menjerit tertahan ketika melihat keadaan gadis tersebut.

Cairan merah pekat merembes keluar dari baju putih polos yang ia kenakan. Wajahnya tampak menahan sakit sembari mendekati pohon sakura tersebut. Namun, (name) jelas sudah tak bertenaga lagi, ia jatuh sebelum sampai di sana, tangannya masih berusaha menggapai batang pohon tersebut.

(Name) meringis. Kiro dapat merasakan dengan jelas kalau napas gadis itu semakin pendek, pertanda kesadaran semakin menguap.

Sudah jelas sekali bahwa (name) kehilangan banyak darah sewaktu menuju ke tempat ini, jejak berwarna merah dapat dilihat di mana-mana.

"K-Kiro...." Mata gadis itu menggenang, tangannya bahkan tak mampu bergerak lagi. "M-Maafkan aku...." Ia mengucapkan kalimat tersebut di tengah napasnya yang amat berat.

Kiro menutupi mulutnya dengan tangan, jantungnya seolah baru saja dijatuhkan tepat ke tanah. Ia menjerit sejadi-jadinya, memanggil nama gadis itu berulang-ulang, mengharapkan sebuah jawaban.

Pemuda itu terjatuh di tempat, tangannya yang hangat ingin sekali menyentuh (name). Akan tetapi, ia tidak bisa melakukan apa pun. Dirinya hanyalah penonton, tidak bisa mengubah alur cerita sama sekali.

Suara langkah berat menghentikan aktivitas berkabung pemuda itu. Ia menajamkan penglihatan, memandang baik-baik sosok pria yang datang dengan terburu-buru itu.

Kiro lantas tersentak, ia mundur beberapa langkah, masih tidak percaya dengan benda yang ada di tangan pria tersebut, sebuah pisau tajam yang berlumuran darah.

Pria itu menghampiri (name), menendang tangan gadis itu, kemudian berjongkok dan memeriksa denyut nadinya.

Pria berbaju hitam dengan masker itu tertawa kencang. "Seandainya kau tidak memberontak, mungkin kau masih hidup, gadis muda."

Setelah itu, semua kembali menggelap.

Spring Lullaby || Kiro x readerWhere stories live. Discover now