5

125 5 1
                                    

Sorry for typo(s).

Ban menatap langit cerah. Secerah apapun langit di atas sana, itu tidak akan membuat hati Ban keluar dari badai di dalam sana. Pikirannya kalut dan menerawang hingga kemana-mana. Dia tidak sedang dalam mood yang baik.

Keputusan yang mudah tetapi membuatnya merasa tertekan hingga sesak. Keputusan yang menguntungkan tetapi menyiksanya.

Ban paling tidak suka seperti ini!

Setelah selesai dihantui dengan penyesalan karena kematian Elaine. Sekarang dia harus dihantui lagi dengan penyesalan terhadap Jericho?

Tsk! Lagipula, itu kan memang kehendak Jericho. Ban hanya bisa mengangguk setuju.

Tapi..

Kenapa hatinya sesak sekali?

Bahkan 10 lebih botol bir tidak bisa membuatnya tenang sedikit. Kenapa seperti ada yang menusuk hatinya? Kenapa dia merasa seperti tidak ikhlas? Kenapa dia..merasakan ini semua—rasa yang ia rasakan saat melihat Elaine mati— pada Jericho?

Apa arti Jericho baginya selain seorang adik atau sekedar teman berkelana yang bisa ia manfaatkan dan menghibur waktu luangnya?

Jericho harusnya tidak lebih dari itu.

Tidak! Seharusnya tidak!

Karena Elaine tetap nomor satu dan satu-satunya baginya.

Jericho....tsk! Sialan.

Ban mengusap rambutnya gusar. Sejak kapan kepalanya ini nyaris pecah hanya dengan memikirkan seorang perempuan yang membututinya entah dari kapan lalu.

Sejak kapan Ban jadi terbiasa terhadap keberadaan perempuan itu?

Sejak kapan Ban peduli?

Sejak kapan posisi Elaine nyaris tergantikan oleh perempuan itu?

Sial.

Ban mengusap rambutnya kasar, sesekali menjambaknya gemas. Ia meneguk botol terakhir alkohol yang ada di depannya. Ban menatap sekitarnya. Suasana bar saat ini..sepi dan terasa tegang.

King dan Diane duduk di salah satu meja pengunjung dengan kaki yang terus bergerak dan gestur gelisah. Gowther yang biasanya cuek dan sibuk membaca buku kali ini ia menutup bukunya, melipat tangan di dada serta dahinya yang terus berkerut tajam. Escanor terlihat sibuk, sangat sibuk, sesekali dia membawa beberapa gelas air minum, sesekali ember berisikan air hangat bersih, lap kain bersih ke lantai atas—dimana perempuan itu sedang mempertaruhkan nyawanya.

Lagi-lagi Ban mengumpat kesal. Sekarang apa yang harus ia lakukan?

Bayangkan, hal tadi itu sudah terjadi selama empat hari lamanya. Tidak ada di antara mereka—Nanatsu no Taizai yang bisa beristirahat dengan tenang. Apalagi Merlin yang sedang berjuang mati-matian, dibantu Elizabeth, demi memenuhi keinginan egois perempuan sialan itu.

Ya, keinginan yang egois.

Sangat egois, sampai-sampai pada kondisi sekarat pun dia memikirkan keselamatan orang lain—apalagi dalam kasus ini, rival cinta abadi.

Bagi Jericho, Elaine adalah rival cinta abadi-nya. Ya, walaupun Jericho sadar mau sampai kapanpun Ban tidak akan sudi meliriknya.

"Kapan ini akan berakhir? Aku khawatir pada mereka berempat." Diane menghela napas gusar.

King terdiam dan tak bisa berharap apapun selain yang terbaik. Ya, terbaik, entah terbaik bagi Elaine atau Jericho atau Merlin dan Elizabeth. Ia tidak bisa memilih untuk siapa permintaan itu terkabulkan. King hanya mau ini segera berakhir dengan akhir yang bahagia.

ENOUGHWhere stories live. Discover now