"Oke, terima kasih," Raka mencoba berdiri dan mencari kesimbangan, "Satu pertanyaan terakhir: apa seseorang dengan kulit biru sering dijumpai di sini?"

"Lumayan, tapi sekarang jumlahnya tidak sebanyak itu lagi. Kita tahu penyebab seseorang berkulit biru karena penyakit," laki-laki itu terdiam sejenak, "Ini pengetahuan umum, masa' kau tidak tahu?"

"Ha-ha, ya, saya lupa," jawab Raka, mengerjapkan mata, "Coba ingatkan saya, apakah itu disebabkan oleh konsumsi ruska yang berlebihan?"

"Ruska? Tidak...tidak. Kau tahu, dalam segala makanan selalu ada sedikit ruska di dalamnya dan itu membuat kita tetap baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk terjadi jika ada ruska."

Raka mendengus, tidak ada hal yang buruk jidatmu.

Kulit biru, huh, pikir Raka. Dee sempat mengatakan perihal itu. Jika meninggal karena ruska, ada kemungkinan mereka gagal jantung dan kondisi yang bisa terlihat langsung adalah kulitnya menjadi biru. Tapi, sosok itu masih hidup. Ini tidak masuk akal. Semua hal begitu kontradiktif. Sialan.

Raka bertemu lagi dengan persimpangan jalan buntu itu. Ia mengikuti jalan yang menjauhi plaza dan lagi-lagi jalan buntu. Berdecak, pemuda itu menaiki krat-krat kayu yang menumpuk di sudut jalan dan mamandang santreo kota dari atas atap.

Giyarim memang kota yang kecil. Di balik tembok buntu itu saja sudah terlihat lagi menara jam tempat mereka pertama kali masuk. Raka tertegun. Jika di balik foto Akbar adalah adalah titik koordinat, siapapun yang menulisnya pasti akan ke sana. Dan untuk ke sana sudah pasti—

Ia melompat turun dan berlari lagi, tak peduli bahwa rasa lelah di tubuhnya sudah hampir mendekati batas. Sekilas Raka melihat orang yang sama memandangnya heran. Beberapa di antara mereka bahkan berteriak mengomentari Raka yang dari tadi berlari mondar-mandir. Ia tak peduli.

Stasiun pemberhentian itu hampir kosong. Sebelum terhubung ke bagian bawah di mana para pagna tertidur dan jalur-jalur operasional lainnya, Raka hanya menemukan dua orang pendatang dan para pekerja shift malam. Tanpa pikir panjang, Raka lagi-lagi menyerbu petugas pertama yang ia lihat.

"Apa kau melihat seseorang berkulit biru datang ke sini?"

"Maaf?" petugas itu berusaha sopan meskipun wajahnya menyiratkan sebaliknya.

"Seseorang berkulit biru," ulang Raka, mengatur napasnya.

"Ini pusat informasi, bukan tempat pencarian orang hilang," jawab si petugas, memalingkan wajah, "Maaf tidak bisa bantu."

Raka mengerling. Perhatiannya teralih pada petugas kebersihan yang curi dengar. Ia mengangkat tangannya, dan mencoba membuka obrolan, "Aku melihatnya. Kulitnya begitu biru sampai kukira di mayat hidup."

"Bagaimana perawakannya? Apa kau ingat?" tanya Raka. Anggukan petugas kebersihan itu, membuat Raka membelalakkan matanya. Sontak ia mencengkram bahu petugas itu, "Cerita!"

Si pria petugas kebersihan terhuyung, ia mencengkram sapunya semakin erat; terlalu takut untuk mengutarakan pikirannya. Petugas kebersihan itu menjawab terbata, "Di-dia...lebih tinggi daripada dirimu dan ra-rambutnya juga lebih rapi dari dirimu. Dia membawa tas ransel besar, mungkin berisi perbekalan."

"Ka-karena kulitnya yang kelabu, aku tidak sadar kalau terus memerhatikannya," Tangannya menunjuk pada salah satu peron di salah satu persimpangan air mancur di bawah sana, "D-dia pergi ke sana!"

Raka mengikuti area yang petugas kebersihan tunjuk; orang-orang sudah mulai mengantre masuk ke dalam kereta dan takkan lama mereka akan pergi meninggalkan kota transit ini. Matanya terbelalak. Pemuda itu mengambil langkah lebar ke arah lift dan beruntung segera membawanya turun.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now