"Sore anak Papa yang cantik, kata Ibu kamu mau jalan-jalan, ya. Ayo kita pergi."

Aku hanya terperangah melihat Dika. Lalu dia berjalan duluan di muka. Sedangkan aku masih mematung di tempat. Ia membalikan badannya.

"Mba, kok masih diam? Ayo!" ajaknya.

"Mau ke mana?"

Andika mengatakan syarat yang ingin dia ajukan tadi, ia ingin mengajak Almira dan aku berjalan-jalan, dan aku harus mau.

Andika mengajakku ke pusat perbelanjaan yang ada di kota ini. Tak jauh dari rumah. Membawa Almira ke wahana permainan anak-anak, berlebihan memang sikap Dika ini, sedangkan dia tahu, bayi berusia 5 bulan bisa main apa.

"Ngapain ngajak main ke sini? Almira belum bisa main. Kita pulang saja, yuk," ajakku.

"Tapi aku lapar, Mbak. Kita makan dulu."

Aku mendengus kesal. Sepanjang di pusat perbelanjaan entah permainan apa saja yang dibelikannya untuk Almira. Tangannya sudah penuh dengan paper bag belanjaan. Mainan Almira.

"Jangan boros, Dik. Mba mengijinkan kamu memanggil Papa pada Almira bukan berarti semua kebutuhannya kamu yang harus penuhi. Kamu bukan ayah biologisnya."

"Aku adik Bang Dito. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk menyenangkan keponakan sendiri, salahnya di mana? Dari Pak Alif aja, Mba terima, kan? Padahal dia bukan siapa-siapanya Almira," jawabnya.

"Almira juga senang-senang aja. Iya kan, Sayang." Diciumnya pipi Almira yang disambut riang tawa dan pukulan kecil di wajah pemuda itu.

Aku terdiam. Malas jika harus berdebat dengan Andika. Dia sama kerasnya dengan Mas Dito. Jika sudah A akan tetap menjadi A.

***

Entah kenapa malam ini Almira rewel. Dia terus menangis, kusentuh tubuhnya. "Astaghfirullah, panas sekali badan kamu, Nak."

Aku bangun hendak memanggil Ibu, begitu keluar kamar aku bertubrukan dengan Dika, aku hampir saja limbung. Secepat mungkin dia menangkap tubuhku. Sekilas mata kami saling beradu. Cepat-cepat kukuasai diri dengan menggerakan badanku. Ingin berdiri.

"Hati-hati, Mba. Kenapa tergesa-gesa?" tanyanya sambil membantuku berdiri dalam posisi yang benar.

"Almira, pa—"

Dika langsung berlari masuk ke kamar sebelum aku menyelesaikan omongan. Aku memanggil ibu, setelah kembali dia menyuruhku untuk bersiap membawa Almira ke dokter.

Alhamdulillah, tidak ada yang mengkhawatirkan dari Almira, dia demam hanya karena akan tumbuh gigi. Sepanjang malam Dika menjaga putriku di kamar Ibu.

"Dik, ya sudah kembali ke kamar kamu, biar Mba yang jaga Almira."

"Mbak aja yang istirahat, aku mau jaga Almira." Dika tetap pada pendirian dia. Menjaga keponakannya. Dengan alasan takut jika tengah malam Almira rewel, dan aku kewalahan.

Meski dengan berbagai alasan yang kukatakan, Dika tetap tak mau tidur. Dia mengatakan jika aku keberatan dirinya akan membawa Almira ke kamarnya.

Ibu pun mengatakan agar mengijinkan putranya menjaga Almira.

Menjelang subuh, kubangunkan Dika yang tertidur di kamar. Menyuruh dia kembali ke kamarnya.

"Dika," panggilku. Dia berbalik menatapku.

"Makasih, Dik." Kuukir senyum padanya. Dia pun membalasnya. Ada perasaan aneh di hati ini ketika melihatnya membalas senyumku.

"Gak perlu berterima kasih, Mba. Sudah kewajibanku menjaga Almira dan Mba ...."

Aku membulatkan mata. Mendengar kalimat akhirnya. Dia pun bergegas keluar kamar.

***

Kudengar Dika sedang berbicara ketika melintasi kamarnya. Samar terdengar dia menolak ajakan teman-temannya untuk berkumpul dengan alasan tak ingin keluar rumah.

Aku membuatkannya secangkir kopi. Tak lama kemudian dia menyusul ke dapur. "Dik, ini kopi buat kamu," ucapku.

"Makasih, Mba." Dika langsung menyeruput kopi itu. Lalu ia menanyakan bagaimana kondisi Almira.

"Alhamdulillah, Dik. Demamnya sudah turun. Itu lagi sama Ibu."

Kami mengobrol di meja makan. Kutanyakan hubungannya dengan mahasiswiku yang bernama Lily. Karena kutahu dari pembicaraan teman-temanya mereka memiliki hubungan khusus.

Tetapi, bukan hal itu. Ada yang kutahu dari kelakuan Lily di belakang Dika. Namun, aku belum punya banyak bukti.

"Kamu punya something spesial dengan Lily ya, Dik?" tanyaku.

Dika yang semula hendak meneguk kopinya. Kembali meletakan cangkir itu ke atas meja. Menatapku lama.

"Kenapa Mba Vira menanyakan itu?"

Aku menunduk. Diam

"Mba cemburu?"

"Ah?" Aku menaikan wajah menatap Dika dengan keheranan. Dia tersenyum.

Next.

MENIKAHI KAKAK IPAR Where stories live. Discover now