2

1.1K 62 2
                                    

Langit kelabu dan udara yang sejuk menjadi penghias Ibu Kota sore ini. Dan semakin lengkap kala ditemani gerimis ringan yang di anggap menyusahkan bagi pengendara roda dua yang harus berbasah-basahan ditengah kemacetan pada jam pulang kantor seperti ini. Tidak hanya pengguna motor, para pengguna transportasi umum juga tentu akan mengeluh saat harus berdempetan untuk dapat meneduh di halte-halte.

Satu hembusan nafas panjang kembali Tania keluarkan, entah untuk keberapa kalinya. Kedua tangan nya dengan erat mendekap tas ransel yang sengaja ia pindahkan ke depan agar terjaga dari tangan-tangan biadap pencopet. Matanya terasa panas karena terlalu lama bertatapan dengan layar komputer sejak pagi. Dan bibirnya sesekali nampak sedikit bergetar saat merasakan dingin angin yang sedari tadi sibuk mondar-mandir selama gerimis turun sejak 30 menit yang lalu.

"Hujan, tolong lah berhenti," keluh Tania pelan akhirnya.

"Tapi kata ibu, Hujan membawa rejeki." Sahut seseorang yang ternyata berdiri tepat disampingnya.

"Apa?" Tania menoleh. Ada rasa sedikit kesal saat ucapan nya di tanggapi dengan orang asing.

"Eh. itu kata ibu, hujan justru membawa rejeki," seseorang berjenis kelamin laki-laki itu kembali merespon dengan senyuman.

"Rejeki itu dari Tuhan bukan hujan," Tania memutar bola matanya dan juga menggeser sedikit tubuhnya.

"Setuju. Memang dari Tuhan, lagian siapa yang bilang dari hujan. Aku bilang hujan membawa rejeki. Bukan rejeki dari hujan," ujar Laki-laki itu

Merasa mood nya bisa semakin memburuk, Tania memlilih acuh dan mengabaikan ucapan laki-laki SKSD itu.

"Agam, by the way," Uluran tangan menjadi balasan dari pilihan acuh yang Tania lakukan.

Tania terdiam sejenak memandang tangan berkulit kuning Langsat tersebut, lagi-lagi satu helaan napas panjang ia keluarkan.

"Nia" jawab Tania singkat.

"Nia Ramadhani atau Nia Daniaty?" Tanya sosok yang mengenalkan diri dengan nama Agam itu. Raut wajahnya tetap datar walau kucing pun tau dia sedang mencoba bergurau.

Tania terkekeh pelan sembari melepas jabatan tangan. "Tania Dharma,"

"Ah, Tania Dharma," Agam menyebut lengkap nama baru yang ia dengar.

"Biar kutebak. Pasti gak cuma berteduh, nunggu bis kan mba Tania Dharma?" Agam kembali membuka obrolan.

"Iyup," jawab singkat Tania sembari lebih mengeratkan dekapannya pada ransel yang ia peluk.

"Kebetulan sekali sopir aku sedang menuju kesini buat menjemput. bagaimana kalau aku antar?" Tawar Agam dengan senyuman yang memperlihatkan gigi kali ini.

"Eh, gak usah. Makasih, aku naik bis aja." Tolak Tania dengan nada lebih baik dari sebelumnya.

"Bis gak akan datang dalam waktu dekat ini. Nih ya, hujan di hari jumat biasanya awet, ditambah sore-sore pula, bisa aku jamin kamu kalau nunggu bis bisa-bisa kamu berjamur"

Tania ikut tertawa kecil saat mendengar penjelasan receh Agam. Lalu setelah nya terdiam sebentar.

"Arah tujuan kamu kemana memang?" Akhirnya Tania bertanya.

"Radio dalam. Aku ada janjian sama seorang kawan disana," jawab Agam.

"Well, then aku cukup beruntung kalau gitu. Tujuan aku gak jauh dari situ, so apa tawaran tadi masih berlaku?" Tania tersenyum.

***

"Gara-gara macet, kamu gak jadi ketemuan sama temen kamu," Tania berjalan masuk kedalam rumah juga mempersilahkan Agam masuk.

"Mau kopi atau teh?" Tawar Tania kepada Agam yang kini telah duduk manis di sofa rumah sederhana yang Tania tempati, sembari berjalan menuju dapur.

"Jus alpukat, less ice." Jawab Agam.

Lagi-lagi tawa mereka pecah hanya dengan candaan receh Agam. Aneh tapi nyata. Tania dan Agam dapat menjadi akrab hanya dalam hitungan jam. Perkenalan singkat yang berlanjut menjadi obrolan ringan untuk mengisi kesuntukan ditengah kemacetan yang memakan waktu hampir 2.5 jam mampu membuat mereka terlihat seperti telah saling kenal.

"Maaf ya, jus nya ga ada aku punya nya sirup," ujar Tania yang kembali dengan sebuah nampan yang terisi satu gelas sirup dan beberapa biskuit yang tertata di piring.

"I'm just kidding Niyaaa," ujar Agam berdiri mengambil alih nampan yang Tania pegang, lalu meminum Sirup yang telah tersedia, bahkan sebelum Tania suguhkan.

"But thanks, sirup nya manis," Agam menyengir memamerkan gelas sirup yang isinya telah kandas tak tersisa.

"Haus apa Doyan pak?" ledek Tania tertawa melihat tingkah Agam.

"Keduanya," Agam menyengir kuda.

"By the way, rumah kamu nyaman." Puji Agam dengan masih berdiri mengamati.

"Thanks," ujar Tania kembali tersenyum.

Dengan posisi masih berdiri serta tangan yang terlipat di dada. Agam berjalan pelan mengitari ruang tamu Tania. Mata nya terfokus menyimak segala sudut rumah Tania. Terutama segala lukisan abstark yang terpajang di dinding. Saking fokusnya hingga tak sadar berjalan mundur dan menabrak Tania yang baru saja kembali dari dapur untuk membuatkan sirup di gelas kedua.

Prang! Nampan kaca beserta gelas kaca yang terisi sirup menjadi pecahan manja di lantai seketika.

"Astaga," Agam terkejut dan segera menunduk membantu Tania.

"I'm sorry.." Ujar Agam ikut memungut pecahan-pecahan kaca.

"Iya, It's o-" Ucapan Tania tergantung, saat mata nya dan mata Agam saling terkunci dalam tatapan yang hanya berjarak tak lebih dari 15 cm.

Jarak yang entah mengapa semakin menipis hingga kedua bibir tersebut bertemu, dan mulai saling memangut. Serta menjadi awal dari segalanya.

TBC

REDAM #NUBARYOU&ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang