Batas (1)

18 9 0
                                    

Aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan, walaupun mungkin ini menyakitkan

-Gionanda Alvanley-

Kriet!

Pandangan seorang gadis mengedar ke arah seisi ruang ketika ia membuka pintu, tampak tenang dan sama sekali tidak ada pergerakan.

Suasana kamar yang gelap membuatnya rindu berada di kamar ini, ditambah aroma ruangan ini. Aroma khas kakaknya. Kamar yang pertama kali menjadi kamar mereka berdua, sekarang di tempati oleh lelaki yang kini masih tertidur lelap di sana. 

Ia berjalan dan mendekat ke arah jendela yang kini masih tertutup gorden. Sinar matahari yang sedari tadi di balik gorden itu membuat ia terhanyut akan lamunan. Dimana dirinya tetap tertidur walau gorden penghalang sudah dikibaskan.

Gadis itu, Gia. Gianata Alvanley. Gadis berusia 19 tahun yang kini terpaku melihat orang yang ada di hadapannya. Lelaki tampan di hadapannya ini adalah Kakaknya. Pada saat ini.

"Kak! Wake up!" ucap Gia seraya menepuk pipi Kakaknya. 

"Come on! Kau tidak rindu padaku?" tanya Gia.

"5 minute again ok?" balas Gio dengan mata masih tertutup. Ya, lelaki yang masih setengah sadar itu adalah Gionanda Alvanley.

"Kak Gio! Jangan sampai aku menarikmu turun dari kasurku!" teriak Gia.

Gia tidak heran jika kakaknya sulit untuk bangun pagi, karena ia juga memiliki sifat yang sama. Apalagi sekarang Gio sedang menjalani pendidikan profesinya. Banyak tugas. Itu mengurangi waktu luangnya, dan menambah waktu malasnya.

Gia selalu seperti ini, selalu bersemangat ketika mengetahui bahwa Gio akan pulang. Semalam ia mendapatkan kabar itu. Dan benar saja, sekarang Gio sedang tertidur lelap di atas kasur kesayangan mereka berdua. Dulu.

"Ah, ayolah aku baru saja sampai rumah jam2 pagi tadi," ucap Gio.

"Yaudah kalau gitu, aku ikut tidur saja di sebelahmu." Baru saja Gia mengatakan itu dan ingin naik ke atas ranjang, lalu.

"Hey! Aku sudah bangun. Lihat lah!" ucapnya mengagetkan Gia.

"Jadi, apa yang kita lakukan hari ini?" tanya Gio dengan nada orang yang baru bangun tidur.

"Bermalasan," ucap Gia dengan senyum khasnya.

"Mandi lah terlebih dahulu, kau sangat bau," ucap Gio meledek. Hal itu berhasil membuat bantal yang ada di kepala Gio, pindah tepat ke depan mukanya.

"Kau berniat membunuhku! Sini kau jangan lari!" teriak Gio. Mungkin tidak akan di balas, karena Gia sudah keluar dari kamarnya.

"Kalau saja aku tidak rindu padamu, aku lebih memilih tidur."

***

"Pagi pah! mah!" sapa Gia sambil menuruni anak tangga.

"Pagi sayang," balas Stephen dan Gita bersamaan. Orang tua Gia dan Gio.

"Bagaimana, sudah bertemu Kakakmu?" tanya Gita.

"Sudah."

"Lalu dimana Kakakmu? Bukankah kamu tadi membangunkannya?" tanya Gita lagi. Stephen tampak cuek mendengar obrolan mereka.

"Mungkin dia sedang mandi, tadi waktu aku ke kamarnya Kak Gio masih tidur," balas Gia.

"Mungkin sebentar lagi turun Mah." lanjutnya.

"Gia!" teriak seseorang dari atas sana.

Stephen dan Gita menghentikan kegiatan makannya. Mereka seperti tahu apa yang telah diperbuat anak gadisnya ini kepada kakaknya.

"Ups!"  ucap Gia sambil menutup mulutnya.

"Again? What'r u doing dear?" ucap Stephen memastikan.

"Nothing, just a little surprise," Jawab Gia dengan senyum jahilnya.

Stephen dan Gita hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mereka memaklumkan itu. Bisa dibilang, mereka juga rindu akan moment yang seperti ini.

"Eh, Kak Gio," sapa Gia tepat ketika Gio berada di tangga.

"Dimana parfum gua?" tanya Gio akhirnya.

Gia dan Gio memiliki kesepakatan. Ketika mereka di rumah, harus layak menjadi kakak beradik yang budiman. Ya, tapi selalu gagal karena ulah salah satunya.

"Kak! Ingat kesepakatan," ucap Gia mengingatkan.

"Bodo amat, gua capek."

"Sudah Papah bilang, lebih baik kamu kuliah study bisnis. Sekarang kamu lelah sendiri kan." lagi, Stephen selalu membahas hal yang sama.

"Aku lebih baik lelah karena hal yang aku suka, dari pada di bawah tekanan dan tambah menderita," tegas Gio.

"Lo kuat banget si Gi."

💛 BRGAG 💛

Batas Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang