dokumen #9 : aquila

315 63 15
                                    

Hujan deras malam ini tak ada artinya bagi Al. Guntur yang menggelar tak lagi menakutkan baginya. Sebab, pemandangan di seberang sana lebih menyakitkan dan menakutkan dari apapun untuknya. Untuk hatinya.

Ia tak menyangka, secepat ini rasa sakit itu menyerang hatinya. Perih. Al tahu, harusnya ia sudah menyiapkan diri dan hatinya sejak jauh-jauh hari. Namun tetap saja, rasanya teramat perih.

Keempat sahabatnya tengah bercengkerama dan tertawa bersama di teras rumah Ares dengan seorang pemudi yang sudah tidak asing lagi di matanya.

Memang ini pilihannya sendiri untuk tetap di dalam rumah saja meski tadi sore sempat diajak oleh Ve. Tapi tetap saja, hatinya terasa sakit bersamaan dengan luruhnya air mata.

*

Kakinya melangkah lunglai. Tubuhnya lemas tak bersemangat. Selasa pagi biasanya menjadi hari yang dinanti. Namun, kali ini Al justru menghindari.

*TIN TIN*

Al terperanjat. Ia tengah melamun dalam langkahnya dan tiba-tiba dikejutkan oleh suara klakson. Ia menoleh, dilihatnya Ares tepat di belakangnya.

"Yuk, jam tujuh nih."

Banyak tanda tanya dalam kepalanya. Mengapa Ares bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa? Mengapa Ares bersikap seperti biasanya? Mengapa Ares tak memikirkan perasaannya barang secuil saja?

Tanpa banyak bicara, Al segera melanjutkan langkahnya menuju halte Transjogja. Meninggalkan Ares dengan kebingungan yang melanda.

"Al!" panggilnya. Sebuah rutinitas penting baginya untuk berangkat ke kampus bersama Al tiap Selasa pagi.

Sepeda motornya dilajukan berdampingan dengan Al yang terus berjalan cepat-cepat. "Ayo naik, Al."

Pada langkah kakinya yang mantap, Al telah memutuskan. Bahwa apa yang ia inginkan memang tak perlu ia perjuangkan. Terlebih apabila ia sadar memang sudah tak ada harapan. "Aku gak mau. Udah janji berangkat bareng temen naik Transjogja," responnya tanpa melirik barang sedikitpun.

Dengan begitu, gas yang sedari tadi ia tarik pelan, total dilepaskan. Motornya berhenti tepat di persimpangan jalan. "Oh? Oke. Hati-hati, Al."

Udah? Gitu doang?

Dan Al semakin yakin bahwasanya ia lebih pantas mencintai seseorang yang juga mencintai dirinya. Al semakin paham apabila dirinya hanyalah sebatas kawan bagi seorang Antares Nugraha.

Detik itu juga, Al memutuskan untuk berhenti.

*

Karena pagi ini Al tidak mau berangkat bersama, maka Ares mengajak Ve yang kebetulan berjalan kaki melewatinya. Sebetulnya Ve mengambil kelas siang dan ia hanya ingin pergi jalan-jalan sendirian.

"Ares, ini kita mau kemana? Kok gak ke arah kampus?" teriak Ve dibalik punggung Ares.

Yang ditanya balas berteriak, "katanya mau jalan-jalan."

Kerutan muncul di keningnya. Apa maksud Ares?

"Kamu mau nganterin aku ke tempat jalan-jalan apa gimana?"

Ares tertawa, meski ia tahu Ve takkan bisa mendengarnya. "Pegangan, ya!" Sedetik setelahnya, sepeda motor itu melaju kencang membelah jalanan kota, bersamaan dengan kedua lengan yang melingkar erat di perutnya.

*

Setelah menempuh perjalanan yang dipenuhi rasa takut, akhirnya Ve mampu mengembuskan napas lega. Ia bergegas turun dari motor dan menatap takjub pada mahakarya Tuhan yang ada di hadapannya.

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang