OLEH-OLEH PERTEMUAN SASTRAWAN PENYAIR MPU

198 1 0
                                    

Oleh: Muhammad Rois Rinaldi

(Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Cilegon)

Cilegon_ Acara Temu Sastra diikuti oleh sastrawan dari 10 Provinsi yang tergabung dalam Mitra Praja Utama (MPU), antara lain dari DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sejumlah sastrawan dan penyair asal Banten yang  mengikuti  pertemuan tersebut antara lain Chavchay Syaifullah (Lebak), Ayu Cipta (Tangerang), Fadri (Pandeglang), Abdul Salam (Serang) dan Muhammad Rois Rinaldi (Cilegon). Tentu kegiatannya tidak sebatas temu kangen, namun masing-masing delegasi menghadirkan makalah dalam diskusi panel dan kolaborasi pementasan.

Pertemuan Sastrawan Penyair MPUsudah menjadi agenda tahunan. Kegiatan ini merupakan ajang silaturahmi antarsastrawan dan penyair yang menyepakati Pertemuan Sastrawan Penyair MPU. Tujuannya untuk saling tukar berbagai informasi dan perkembangan sastra di setiap provinsi sekaligus membangun jejaring antarsesama pelaku sastra sehingga akan bermuara pada perkembangan sastra Nasional yang belakangan ini belum mendapatkan perkembangan yang menggembirakan.

Sebenarnya ingin juga membahas soal ketidakhadiran  sastrawan Jogyakarta, selaku tuan rumah yang semestinya manyambut kedatangan sastrawan tamu yang datang dari jauh. Sebagaiamana kegaduhan kawan-kawan sastrawan lainnya. Namun tidaklah bijak membicarakan kesalahan atau ketidaksempurnaan suatu kegiatan namun melupakan hal-hal yang jauh lebih subtansial dan mestinya menjadi pokok pengkajian:

Bahwa kegiatan Pertemuan Sastrawan Penyair MPUsanggup melahirkan konsep-konsep kekaryaan yang mengedepankan kualitas dan dapat diterima oleh masyarakat. Bahwa kegiatan kesusastraan tidak lagi bicara soal bagaimana sebuah karya selamat di mata sesama sastrawan melainkan telah memasuki ranah yang lebih luas dan tentunya memberikan konstribusi nyata pada tatanan kehidupan masyarakat.

Saya sempat memaparkan pada saat diskusi panel yang diisi oleh delegasi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Jogjakarta bahwa sastrawan tidaklah mesti melulu bicara soal cinta personal namun harus juga membuka lahan cinta pada semesta. Dalam artian hubungan sosial, pilitik dan budaya harus jadi bahan perenungan agar tulisan-tulisan atau karya yang diciptakan benar-benar berada di ranah yang benar: Sastrawan tidak berdiri sebagai pengeksplorasi romantisme pribadi tapi berdiri di antara halayak, menjadi pemerhati bahkan jika bisa menjadi pemeran di dalam membela kepentingan umum.

Karena itu saya mengamini materi yang disampaikan Pardi Suratno pada beberapa bagian makalahnya yang berjudul “Bahasa dalam Karya Sastra”, mengatakan bahwa pengarang mempunyai beberapa peran, antara lain sebagai penghasil karya sastra, ia juga mewakili masyarakat dan zamannya serta pula memberikan pencerahan pemikiran atas persoalan individu, masyarakat dan bangsa atas kondisi kekinian. Selain itu pengarang sebagai penerang dalam membentuk kehidupan pada masa depan serta mendidik secara lentur, tanpa mendikte atau memaksa, dan akhirnya pengarang menghibur dan mengarahkan atau mendidik.

Tak sedikit yang menyanggah bahkan menyangkal pernyataan saya tersebut, dengan pendapat bahwa pengenalan sastra semisal puisi lebih baik dengan memperkenalkan puisi-puisi cinta karena lebih mudah diterima. Ya. Kemudian sastrawan telah berdiri pada kediriannya masing-masing: Menjadi penyair kamar yang gemar mengeksplorasi romantisme pribadi yang miris dan mengiris atau berdiri di trotoar membaca keadaan-kenyataan sehingga tulisannya membentuk kesaksian yang benar adanya tidak sebatas imajinasi?

Didkusi demi diskusi yang digelar cukup variatif, dari ihwal kepenerbitan, kekaryaan, pementasan karya sampai pada pembaharuan karya. Sebenarnya dari beberapa ranah diskusi saya pribadi tidak menemukan esensi yang berkorelasi pada tema besar yang diusung yakni, “Sastra dan Kepemimpinan” Terkecuali yang dihadirkan pada pembukaan yang disampaikan oleh : Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, Drs. GBPH. Yudaningrat, MM. Dalam sambutannya, Kepala Dinas Kebudayaan antara lain mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan Temu Sastra ini diharapkan menjadi inspirasi langkah-langkah yang realistis dalam pengembangan sastra di nusantara, serta di zaman istimewa ini sastra dan kepemimpinan bisa menjadi referensi kepemimpinan di masa sekarang. Pernyataan  itupun lagi-lagi hanya sanggup bicara soal sejarah kesusastraan Indonesia bukan ranah bagaimana sastra dan kepemimpinan mengkerucut pada suatu aksi yang nyata sehingga sanggup mencatat sejarah, bahwa sastra sanggup melahirkan seorang pemimpin atau sastra sanggup membuat seorang pemimpin termotivasi atau tersadarkan untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya.

Sejarah sastra Indonesia masih sebatas lingkup hidup seorang sastrawan di lingkar kepemimpinan atau sebagai kubu lawan pemimpin atas nama rakyat. Masih sebatas itu dan soal tema besar ternyata belum sanggup diejawantahkan bahkan dalam teks makalah yang disajikan pun saya rasa gagal. Sadar atau tidak sadar salah satu penyaji makalah pada sesi seminar  Pra-Temu Sastra yang saya baca di media, yakni Suwardi Endraswara, dosen UNY sekaligus sastrawan ini dalam makalahnya berjudul “Membaca Tanda-Tanda: Sastra dan Kepemimpinan” antara lain mengatakan bahwa Sastra adalah bagian kekuasaan. Sastra juga sering menjadi corong kepemimpinan. Sastra juga sering memimpin. Banyak kisah cerpen yang melukiskan bahwa pemimpin itu tidak akan selamanya bertengger. Ada pergantian alamiah dan ada yang diskenario. Ada pula yang harus lengser atau dilengserkan. Tugas sastrawan adalah menjadi saksi jaman. Sastrawan pula yang ikut memberi spirit jaman.   Tetap sebatas kulit atau hasil baca sejarah tidak mengkerucut pada konsepsi yang sanggup mengarahkan pada tema “Sastra dan Kepemimpinan” yang dimaksud.

Selain itu ada yang mengganjal dalam pemikiran dan batin saya, seperti mendapaatkan oleh-oleh berupa pertanyaan besar. “Sering sekali saya mendengar pembicaraan atau diskusi tentang pembaharuan kekaryaan semacam ini dan itu. Sudah sejauh ini siapakah yang benar-benar melakukan pembaharuan? sedang kita seakan terus menganyam sampah-sampah dengan sedikit sumpah sehingga menjadi pernak-pernik antik yang disebut dengan karya.”

Terlepas dari semuanya. Pertemuan Sastrawan Penyair MPU, PPN Jambi, Sragen dan sebagainya pada dasarnya bermula pada niat yang sama: Memberi manfaat terbaik pada perkembangan kesusastraan. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja kesinisan dari beberapa kalangan bahkan dari kalangan sastrawannya sendiri. Saya hanya berharap masing-masing sastrawan tetap saling mendukung dalam bentuk apapun bahkan dalam bentuk kritik yang tentunya bersandar pada niat baik berharap perbaikan demi kebaikan. Pada akhirnya kita serahkan saja pada seleksi alam. Salam.

Cilegon-Banten, 2012

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 07, 2012 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

OLEH-OLEH  PERTEMUAN SASTRAWAN PENYAIR MPUWhere stories live. Discover now