A ; maybe it's the butterflies

2.4K 374 51
                                    

Rasanya aneh.

Biasanya, menemani Sultan ke mall untuk mencari pakaian—atau sekadar demi kemaniakannya dengan kedai kopi yang harganya selangit nggak sebanding dengan menu yang ditawarkan; atau berbelanja keperluan restorannya—nggak memberikan aku efek apa-apa. Mall hanya satu dari sekian tempat yang kudatangi bersamanya, titik. Tapi hari ini rasanya aneh.

Mall seperti biasa; nggak pernah lengang. Ramai dengan orang. Hiruk pikuk semesta yang sedang bingung memilih makanan, beberapa anak berseragam sekolah yang haha hihi di sudut sambil berswafoto bersama, dan pria-pria berjas berjalan cepat membawa amerikano di tangan kiri dan menerima telepon di tangan kanan.

Aku, berjalan beriringan dengan Brian.

Tangan kami bergandengan.

Brian dengan sengaja membawa totebagnya di kanan, aku tahu biasanya ia membawa totebag di pundak kiri, tapi tangan kirinya sedang menggandengku sehingga totebagnya harus tersampir di pundak kanan. Mungkin juga karena aku membawa tas selempangku di pundak kiri sehingga ia memilih menggandeng tangan kananku yang bebas. Supaya nggak ada insiden pundak kami saling menabrak tas selempang atau totebagnya.

"Gi," panggilku.

Brian menoleh. "Hm?"

"Haus."

Ia tertawa kecil. "Mau apa? Kopi?"

Kugelengkan kepalaku.

"Ke situ yuk, menunya nggak cuma kopi kok. Biasanya Dyandra suka gofood ini, terus Mama pesen yang olahan susu, Papa olahan teh," Brian menunjuk sebuah kedai kopi dengan lampu neon tegak bersambung warna hitam yang memancarkan cahaya kuning kecoklatan.

Aku setuju.

"Sebenernya, kamu manggil Mama apa Ibu sih? Beberapa kali aku denger Dyandra panggilnya pakai Ibu. Tapi kamu pakai Mama," tanyaku.

Brian tersenyum. "Kamu mau pakai aku-kamu nih?"

Aku tersedak. "Ya nggak gitu, mau pakai aku-kamu atau gue-lo, ya apa bedanya. Cuma kata ganti doang.."

"Aku-kamu sounds more intimate, tho," lanjut Brian.

Aku angkat bahu. "Sama aja menurut gue. Kalian aja warga Jakarta yang ngegede-gedein aku-kamu."

"Iya, iya, iya yang warga Surabaya," Brian tertawa lagi. "Pake aku-kamu dong. I like the way it sounds from your lips."

"Idih apaan."

Brian dan aku sampai di konter. Mengantre. "Dyandra emang manggilnya Ibu. Dulu semua temen sekolahnya panggilnya Ibu. Jadi dia ikut-ikut, eh keterusan. Kalau aku sih, kadang Ibu, kadang Mama, kadang Bunda, kadang Mami. Suka suka aku."

Rasanya aneh mendengar Brian menggunakan aku-kamu. Seperti ada rasa menggelitik di perut. Mungkin ini yang dimaksud Brian tadi.

Aku angguk-angguk.

"Ya, ada yang bisa kami bantu untuk pesanannya?" tanya perempuan muda di balik konter, menekan layar.

Setelah menyebutkan pesanannya, Brian menoleh ke arahku. "Cold brew, no sugar, less ice. Kamu apa?"

Aku mendongak menyipitkan mata melihat pilihan menu.

"Keliatan nggak? Kamu sering banget nyureng-nyureng gitu. Nggak mau ke dokter mata? Siapa tau kamu minus?" tanya Brian, lalu menyibak sebagian poniku ke belakang agar nggak mengganggu pengelihatanku.

Aku nyengir. "Emang minus. Tapi males pakai kacamata."

"Maaf, nanti saya boleh minta tanda tangan sama foto sama Bang Brian?" perempuan di balik konter berbisik pelan.

SHEETS AND STREETSWhere stories live. Discover now