A ; having fun

4.1K 511 22
                                    

"NAT.."

Kenapa ya dengan Brian hari ini? Aneh. Panggil-panggil terus. Aku menoleh dan memberika tatapan heran. Brian menggaruk-garuk kepalanya yang jelas nggak gatal. Dia mana pernah gatal-gatal di kepala sih? Dia kan keramas hampir setiap mandi dan rambutnya itu bisa kupastikan lebih halus dari rambutku. 

"How are they?"

Pertanyaan dari Brian itu membuatku mengangkat satu alis. "Gimana apanya maksud lo? On bed?"

Brian mengedikkan bahu.

Aku jadi makin bingung sebenarnya Brian ini ingin bertanya apa. Apakah karakter bertanya berputar-putar itu genetis di keluarga Agiabangsa? Dyandra juga sering seperti itu. Aku menatap Brian masih dengan sorot mata yang sama, begitu pun ia.

"Good," jawabku.

"How good?" kejar Brian.

Aku menarik napas, menarik tanganku yang kuku-kukunya sudah terpoles kuteks merah. "Gue nggak mau bahas itu. Buat apa sih, Gi?"

"Cuma pengin tahu," timpal Brian cepat.

"Maksud gue, ngapain lo pengin tahu begituan? Kayak lo dapat manfaat aja dari informasinya," balasku, meniup-niup kesepuluh kuku.

Brian berdecak, "Ya kalau mereka doing good, that's good. Gue cuma pengin memastikan lo juga having fun. Bukan cuma mereka."

"Trims, gue having fun kok."

Brian tersenyum. "Ya udah, kalau lo ngerasa gitu kan gue nggak perlu kuatir."

"Kuatir apa? It's a mutual agreement, Gi. Gue mana mungkin ngeiyain kemauan mereka kalau gue nggak berkenan, kan," lanjutku.

Brian manggut-manggut. Kemudian ia meraih tanganku dan ikut berpartisipasi meniup kuku. Aku meliriknya sambil tertawa, "Lo ngapain deh, Gi.."

"Biar cepet kering. Biar cepet bisa gue ajak," kata Brian.

Keningku berkerut. "Gue kan udah bilang nggak mau ikut lo pulang."

"Ih siapa bilang mau gue ajak pulang. Orang mau gue ajak boker," Brian nyengir lebar. Aku melotot, ingin sekali menoyor kepala laki-laki itu kalau saja tak ingat kalau kukuku jadi cantik karena usahanya, dan masih separuh basah.

Brian masih tertawa, kemudian bangkit dari duduk. Ia mengacak puncak kepalaku, "Dah ah boker dulu."

"Apaan sih, Gi. Boker boker aja kali, nggak usah pamitan!" aku mendorong punggung Brian.

Sambil berjingkat ke kamar mandi, Brian mengoceh panjang lebar soal ususnya yang berfungsi efektif dan maksimal, pencernaannya yang bagus. Semua itu hanya akal-akalannya saja supaya aku nggak mengatainya tukang boker. Habisnya, nggak ada hari tanpa dia boker di apartemenku. Tapi ya sudahlah, toh itu alamiah.

Aku menatap kesepuluh jemariku.

Bisa kubayangkan Dyandra pasti mencak-mencak melihat hasil polesan kuteks kakaknya tersebut. Nggak rapi. Kuteks pada ibu jari yang paling parah, meluber hingga ke samping an terlalu tebal. Aku hanya bisa tersenyum. Bagus deh. Orang macam Brian nggak boleh terlalu sempurna.

Aku jadi teringat tentang Brian yang hampir selalu menguasai hal-hal yang ia pelajari. Musik dan ambisinya. Juga ketekunannya untuk tetap kuliah di sela-sela kesibukannya yang membeludak. Nilainya? Jangan ditanya. Straight As.

Mungkin itu juga alasan kenapa aku suka sekali bicara dengannya. Brian tahu segala hal. Aku bisa membicarakan topik apapun bersamanya; tanpa rasa canggung dan tanpa garis batas. Aku suka cara pikir Brian. Ia bisa melihat segala sesuatu dari banyak sisi, sehingga aku bisa bebas bicara tanpa takut dihakimi. Laki-laki macam itu di tahun 2018? Lebih langka dari pada satwa terlindungi.

SHEETS AND STREETSWhere stories live. Discover now