BAB 1: Jika, Maka

Start from the beginning
                                    

Kisah ini bukan milikku. Tapi milik jiwa-jiwa besar yang sudah lunas membasuh diri dengan luka dan sabar. Ini tentang banyak orang, yang di antaranya, aku berada di sana. Aku hanya napas kecil yang berembus diam-diam, meyelundupkan secercah warna di antara mereka, memayung luka agar lekas kering, dan membiarkan hati tadah agar kiranya rindu-rindu itu tetap basah.

Aku tidak tahu bagaimana harus memulai, tapi ini akan jadi kisah yang cukup panjang. Di dalam diriku seperti penuh sesak oleh banyak hal yang begitu mendesak untuk diceritakan. Namun biar kusederhanakan. Kumulai dari sini saja.

Saat itu pertengahan Syawal. Momentum ramainya calon-calon santri baru berduyun-duyun hendak mendaftar ke pesantren. Aku baru saja mengantar Mas Nala ke Yogya karena dia juga akan meneruskan kewajibannya sebagai dosen di Universitas Islam Indonesia. Padahal, harusnya dia yang menyambut wali santri di acara pembukaan nanti. Secara, Mas Nala adalah kiai muda yang menjadi poros baru sejak tiga tahun terakhir.

Malam sebelumnya Mas Nala bilang mendadak harus berangkat ke Yogya. Ekspresi wajahnya seperti sedang menyembunyikan sebuah persoalan yang cukup pribadi atau rahasia, dan mendesak. Dia tiba-tiba perlu pergi bukan karena perkuliahan yang akan segera dimulai, melainkan konon ada urusan penting yang mengharuskannya untuk terbang ke New York selama sepekan ke depan.

"Lalu pesantren bagaimana kalau Mas Nala pergi?" tanyaku malam itu, "Bukannya Mas seharusnya hadir di pembukaan? Tidak afdal pembukaan taaruf santri tapi kiainya tidak ada," aku menggunakan Basa Jawa yang halus pada Mas Nala. Di keluarga kami unggah-ungguh kepada yang lebih tua sangat diutamakan.

Aku mengikuti Mas Nala ke dalam kamarnya. Dia seperti gugup sekali mengemasi beberapa helai pakaiannya ke dalam koper.

"Ini penting sekali, Shad. Mas harus pergi. Ini lebih penting dari taaruf santri."

"Iya, tapi jelasnya hendak ke mana? Yogya atau New York? Terus izin sama Umi bagaimana? Mas udah bicara?" aku terus memberondongnya dengan pertanyaan sejak Mas Nala memintaku untuk mengantarnya ke Yogya secara tiba-tiba di tengah sibuknya persiapan menyambut tahun ajaran santri baru.

"Ke New York, baru setelahnya mulai sibuk lagi di Yogya. Umi bisa Mas ambil izinnya kalau nama kamu Mas ajukan untuk badalin Mas di taaruf santri nanti. Umi kan percaya banget sama kamu. Lagipula kamu sudah paham betul sama konsep pembukaan tahun ajaran kali ini," jawab Mas Nala sambil terus memilah baju dari lemari.

"Ini darurat yang seperti apa? Kenapa New York?" Mas Nala tidak menjawab pertanyaanku. "Aku harus mendapat alasan yang kuat karena yang akan Mas tinggalkan ini bukan perkara yang sederhana. Ada banyak urusan yang harus melibatkan Mas Nala dalam waktu dekat ini. Dan urusan seperti apa yang sekarang jadi lebih penting dari pesantren?"

Mas Nala lalu menghentikan aktivitasnya dan berkacak pinggang menghadap ke arahku. Dia menghela napas berat. Guratan wajah laki-laki berusia tiga puluh tahun itu terlihat sangat menyiratkan sebuah urusan yang cukup kusut. Aku sangat menghormati Mas Nala setelah kepergian Abi. Terlebih setelah Mas Nala didaulat menjadi pemimpin pesantren yang baru. Dia sangat layak. Aku setuju dengan kepemimpinannya yang revolusioner dan inovatif.

Mas Nala lalu duduk di tepi ranjangnya. "Ini tentang semuanya, Shad. Mas belum bilang ke siapa pun tentang apa yang Mas temukan di Yogya."

Aku ikut duduk di sebelahnya. Mas Nala lantas mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Lalu mengusap-usap layarnya beberapa kali sampai menampilkan sebuah foto. Dia menyerahkan ponselnya itu kepadaku kemudian. Sebuah foto yang menangkap momen Mas Nala dengan seorang perempuan bule berhijab di sebuah restauran.

Aku mengernyitkan alis karena foto itu otomatis memunculkan banyak sekali pertanyaan di dalam benak. Apa maksudnya Mas Nala berfoto dengan perempuan? Sejak kapan dia punya foto dekat dengan perempuan asing seperti ini? Berfoto dengan mahasiswinya saja dia katanya tidak pernah mau.

Tasbih Sang Kiai Vol. 2Where stories live. Discover now