Chap 09| Cium Pipinya Untuk Saya

12.4K 988 511
                                    

Chap 09| Cium Pipinya Untuk Saya

Matahari perlahan-lahan naik, mengindahkan perintah dari alam goib untuk menghiasi wajah bumi sampai petang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari perlahan-lahan naik, mengindahkan perintah dari alam goib untuk menghiasi wajah bumi sampai petang. Mata Samahita mengerjap beberapa kali kala seberkas cahaya itu menimpa kelopak matanya. Dia menggeliat, meringis pelan saat merasakan sakit di belakang kepalanya. Ini pasti efek menenggak terlalu banyak alkohol.

Dengan tenaga dan nyawa yang belum terkumpul, tangan berototnya meraba-raba atas nakas—mencari ponsel yang beberapa menit lalu terus berdering. Matanya menyipit untuk mencermati isi pesan yang masuk, detik berikutnya dia terbelalak. Tanpa pikir panjang dia segera melakukan panggilan suara pada nomor yang mengirimnya pesan barusan. 

“Bagaimana keadaannya?” tanya Samahita tanpa mukadimah sambil mendudukkan dirinya di pinggiran kasur.

“Badannya masih panas. Saya khawatir dia ikut terpapar virus yang sedang mewabah saat ini.”

“Hari ini saya ada rapat, bisa tolong antar dia ke dokter?”

“Baik, sudah ada dalam rencana Sam. Jangan khawatir. Fokuslah pada kerjaanmu saja.”

“Bi Putri ....”

“Iya?”

“Saya boleh minta tolong?”

“Tentu saja boleh. Katakan apa itu?”

“Cium pipinya untuk saya.”

Terdengar suara kekehan pelan di ujung sana. “Dengan senang hati, Sam.”

Suara deruman gas mobil terdengar dari luar rumahnya. Disusul bunyi kecipak sepatu dan peluit. Ah sial mulai lagi. Itu pasti Somad—tangan kanan ayahnya—orang yang diberi mandat untuk mengurus ketujuh putranya.

Prit ... Prit ... Prit ...

Ketika suara peluit mulai dikumandangkan maka seberunjung kegiatan Abinawa Junior Bersaudara akan segera dimulai. Kegiatan itu sengaja dilakukan di pagi buta karena dari jam 9 ke atas mereka memiliki kesibukan masing-masing.

Bennedict mengurus anak perusahaan, Samahita mengurus induk perusahaan, Rafael kuliah, Cahyo bergelut dengan skripsi demi gelar sarjana strata satu ilmu komunikasi—dia tidak mau meneruskan tahta Rafael sebagai mahasiswa abadi di Neo University. Sementara si bungsu William home schooling.

Hmm, biasanya Nan Akash paling semangat membangunkan saudara-saudaranya—dia akan berjalan sambil membawa panci dan sutil—memukulnya dengan semangat empat lima sampai semua terbangun. Tapi sayangnya dia sudah beda alam. Sedang personil satu lagi, lebih kurang tiga tahun terakhir ini—semenjak dia memutuskan untuk tinggal bersama mamanya dan keluarga barunya—dia tidak pernah lagi membaur dengan Abinawa junior bersaudara. 

“Anak-anak bangun!!!” teriak Somad dengan suara baritonnya. Lelaki paru baya dengan bentuk kumis yang khas itu mengembangkan tongkat berbahan kayu sepanjang 55 cm ke udara—semacam tongkat komando.

Tentang Kita; Yuanfen (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang