moral of the story

236 43 6
                                    

ok y'all, maaf banget harus pending story ini karena 20 hari lagi UTBK huhuhu. Tapi janji, abis UTBK aku bakal selesain cerita ini dan bikin cerita-cerita yang lainnya. Maaf banget bikin kalian nunggu, tapi mau gimana lagi kan hehe...

happy reading hyungs, I'll be back ASAP. Love u hyungsss ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

.....

Yeji melihat Jisung dan Lia yang baru masuk ke dalam gedung kampus, "Woy!" Panggil Yeji, "Gue mau ngomong serius."

Jisung dan Lia sama-sama menatap Yeji aneh, "Udah lama gue ga liat lo sefucked up ini, tentang apa?" Tanya Lia. Bukannya menjawab, Yeji malah menarik tangan dua orang itu ke arah kantin.

Yeji memilih meja paling ujung dimana tidak ada orang selain mereka disana, "Maaf gue baru kasih tau lo berdua."

"Apa? Lo belum kasih tau juga."

"Ish diem." Lia menyenggol tangan Jisung dengan sikutnya, "Tuhkan gue udah feeling lo lagi nyembunyiin sesuatu."

"Jadi ini soal Bu Rose, gue deket sama pacarnya. I mean, that close,"

"I hope that close bukan-"

Yeji mengepalkan tangannya, "Gue benci banget sama cewe itu karena gue suka sama cowonya dan cowonya juga suka sama gue. Lo ga bingung gimana coba?"

Jisung dan Lia hanya diam, "Oke, kalau ga serius sih, jangan diterusin."

"Bitch I slept with him, lo tau gue bukan one night stand person ah anjing,"

"Anjing." Umpat Lia menyaut umpatan Yeji barusan, "Pasti cewe itu ga tau kan, nah, lo harus kasih pertanyaan ke cowonya anjir. Milih siapa, kalau bukan lo mending dari sekarang cabut."

"Ouch." Celetuk Jisung, Yeji dan Lia segera menatap Jisung tajam, "Kalau lo sampe mau sedeket itu sama dia kan berarti lo sesuka itu sama cowonya. Gue ga salah."

"Bang Seonghwa tau, dan dia ga suka. Dia nyuruh gue buat pergi, dan barusan gue ngobrol sama Jaehyun buat jangan pilih gue."

"Bang Seonghwa nyuruh lo pergi? Kemana? Lo diusir Ji?! Anjir kok bisa keluarga lo tau?" Jisung membenarkan posisinya, kali ini lebih serius mendengarkan Yeji karena masalahnya akan lebih rumit kalau mulai melibatkan orangtua.

"Cuman Bang Seonghwa doang yang tau, dia pengen gue ke Amerika bareng dan mulai hidup baru. Dia bilang gue udah ga bener banget, iya sih, cuman ga dengan cara pindah juga bisa kan. Baba sama bunda ga tau, lagian kalau mereka tau gue udah ga ada disini kali."

"Bang Seonghwa tuh pengen lo menghindar dari pacarnya tu cewe, anjrit kenapa ngomongin masalah sepenting ini disini sih kan banyak yang kenal. Oke, fuck, yang penting lo harus memilih Ji, mending lo yang cabut atau nunggu dia yang cabut." Kata Lia.

"Gue sih lo yang cabut, jangan harapin cowo deh percaya aja sama gue." Jisung ikut menyaut.

Yeji menghela napasnya, "Jaehyun orang pertama sih, gue juga udah lama ga ngerasain tertarik banget secara perasaan dan visual sama orang." Yeji melihat ke sekitar sebelum melanjutkan, "Orangtuanya Jaehyun kolega baba, bahkan lebih dari sekedar kolega karena emang sedeket itu, sedangkan cewe itu belum pernah ketemu dan dikenalin ke orangtua Jaehyun. Sedangkan gue sama mamanya Jaehyun deket, bunda pernah undang keluarganya makan malam di rumah."

"Nah opsi lain, bikin mereka putus. Tapi lo udah terlanjur bilang jangan milih lo, lo maunya apa sih?" Tanya Jisung membuat Yeji lebih sadar kalau masalahnya memang serumit itu.

"Gue," Yeji diam sebentar, "Gue butuh waktu buat memastikan kalau emang gue suka beneran, bukan cuman mau main-main."

"Resiko Ji, bisa jadi setelah hati lo yakin kalau suka beneran sama dia, dia udah nikahin pacarnya. Mau jadi apa lo? Dakyung di WOTM?"

"Ga lucu bangsat." Lia memukul kepala Jisung pelan, "Ji, lo biasanya ga selabil ini. Tarik omongan lo atau pergi, udah perkecil pilihannya aja dan seandainya lo milih buat narik omongan lo mending detik ini juga karena kita ga akan tau apa yang bakal terjadi besok bahkan sejam dari sekarang."

Yeji tau, seharusnya dia lebih cepat menceritakan ini kepada Lia dan Jisung karena mereka pasti punya jawaban untuk membantunya. Sekarang semuanya kembali pada Yeji, dia sudah diluar batas untuk menganggap sesuatu sebagai lelucon. Perasaan orang bukan hal yang bisa dipakai sebagai bahan bercandaan, Yeji tau itu sejak awal tapi tidak tau jika akan membuatnya kesusahan seperti sekarang.

"Gue pergi dulu." Yeji berdiri dan pergi dari sana, mungkin dia memang harus berpikir sekali lagi walaupun perkataan Lia benar. Waktu terus berjalan dan apapun bisa terjadi jika dia tidak bisa mengejarnya.

...

"Yeji!"

"Ian," Yeji tersenyum ketika melihat Christian di loby hotel, "Gue takut banget lo udah pergi lagi."

"Gue belum bikin lo cabut kuliah jadi ga bisa pergi dulu, lagian masih ada kesempatan buat lo join lagi sama gue."

"Diem gue beneran pusing nih," Yeji mengikuti Christian ke arah lift untuk naik ke kamar Christian.

"Kenapa? Muka lo aneh banget, ga biasanya sebingung ini."

"Menurut lo, lebih baik pergi atau bikin mereka putus?" Tanya Yeji, Ian segera mengangguk mengerti dengan alur pembicaraan mereka.

"Lo yakin ga kalau bikin mereka putus itu keputusan yang baik, lo yakin ga apa itu membawa kebahagiaan atau karma. Lo yang bilang sendiri, setiap hal tau rumahnya."

Yeji menggeleng, "Gue ga tau. Hubungan mereka masih baik, tapi ada bom waktu yang suatu saat kalau meledak bener-bener bikin mereka hancur. Harus gue matiin atau tunggu meledak trus dateng sebagai volunteer?"

Christian tertawa, "Gue selalu suka analogi lo buat setiap masalah." Komentarnya, "Seandainya gue tau akan ada bom yang meledak, gue pasti bakal matiin bom itu lah. Ngapain nunggu sampe ada korban buat jadi volunteer? Waktunya bisa gue pake buat hal yang lain."

"Walaupun lo harus mati waktu jinakin bomnya?"

"Ketika kita memutuskan sesuatu bukannya selalu ada harga yang harus dibayar? Seandainya gue mati waktu jinakin bomnya, ya udah, mungkin gue harus hati-hati di kehidupan selanjutnya kalau harus jinakin bom lagi. Oh, atau gue ga akan pernah nekat buat sok-sokan jinakin bom, walaupun kemungkinan bisa berhasil karena berpengalaman tapi gue ga akan ngambil resiko karena mati gara-gara jinakin bom mungkin lebih sakit saat kedua kalinya. Lagian bakal kedengeran bodoh buat mati dengan penyebab yang sama untuk kedua kalinya."

Yeji terhenyak, perkataan Christian seakan mempersempit pilihannya, "Sorry gue kayaknya ga jadi main, ada urusan." Ucap Yeji ketika pintu lift terbuka.

Ian segera mengangguk, "Good luck, semoga masalahnya bisa selesai. Telepon gue kapan aja kalau butuh bantuan atau sekedar temen cerita."

Yeji mengangguk lalu mengulas senyum sampai wajah Christian tidak terlihat lagi karena pintu lift yang sudah tertutup, segera Yeji mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang yang entah kenapa hanya dia satu-satunya orang yang terpikir oleh Yeji. "Halo, tante Irene ... apa kabar?"

crime night ✅Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora