“Enggak Nak Dimas, santai saja, santai saja,” timpal Pak Bagio yang terlihat hormat dan sangat sopan merespons ucapan Dimas. “Jadi, Nak Dimas ini kenal sama Liora?”

  “Dia tunangan saya, Om.”

  Aku yang masih bengong lantas jadi menelan ludah. Apa? Tunangan?

  “Astagaaa, Lioraaa, kenapa kamu nggak bilang-bilang?” Tiba-tiba nada bicara Pak Bagio jadi sangat ramah kepadaku.

  Dimas melirik ke arahku dengan wajah tengilnya sambil mesem.

  “Ya sudah, ya sudah, silahkan kalian ngobrol-ngobrol dulu, saya mau pamit dulu, sudah ditunggu istri saya di mobil soalnya. Kalian pasti saling kangen, secara, Liora kan sudah sebulan pindah ke kota ini,” lanjut Pak Bagio dengan ramah dan kesopanan tingkat tinggi, kulihat ia lantas bangkit dari duduknya, menghampiriku lalu menepuk-nepuk pundakku.

  What’s going on in here? batinku yang sekali lagi masih bengong dan heran.

  “Makasih, Om.”

  “Permisi Nak Dimas, Mbak Liora.”

  Mbak Liora? OMG, gue lagi mimpi nggak sih? Atau sebenarnya gue masih di dalam mobil dan mabuk oleh ciuman panas dari Reno? batinku sambil menepuk-nepuk kedua pipiku setelah Pak Bagio berlalu.

  Sepeninggal Pak Bagio, Dimas terkekeh.

  “Ra, kok bengong?” Dimas menatapku serius.

  Ditatap seperti itu aku malah jadi mirip orang linglung, tanganku menunjuk keberlaluan Pak Bagio, setelahnya menunjuk ke arah Gio. “Kalian... Kenal dimana?”

  “Nggak usah seheran itu, Ra, Om Bagio itu sahabat Papaku, dan hutang dia banyak. Papa juga sering menyuntik modal usaha buat dia.”

  Ooo, jadi begitu, batinku sambil bersungut-sungut. Pantes setelah ketemu Dimas, sikap Pak Bagio yang tadinya mirip beruang lapar, berubah jadi anak kucing dikasih pita.

  “Ra, kamu apa kabar?”

  “Ba-ik dong, pastinya, Dim. Kamu, kenapa bisa sampai sini?”

  “Pengen ketemu kamu lah, Ra.”

  Aku tersenyum tipis memandangi penampilan Dimas yang selalu terlihat necis sejak jaman kuliah dulu, rambut klimis, tubuh dipenuhi perhiasan branded, mulai dari jam tangan, kalung, hingga tas. Mukanya juga terlihat sombong. Aku jadi ingat, dia dulu digilai banyak cewek di  kampus, tapi kurang famous kalau bukan karena kekayaannya, sebab dia ini tidak banyak prestasi di kampus, yang membuatnya dikenal ya cuma satu hal, kekayaan ayahnya. Dimas bisa menggunakan dengan baik identitasnya sebagai orang kaya, bisa memanipulasi nilai di setiap mata kuliah, bisa mengisi absensi tanpa harus datang ke kampus dan bisa menyelesaikan skripsi dalam dua minggu dengan menggelontorkan dana ratusan juta.

  “Ra, aku bawa oleh-oleh tuh di mobil, buat kamu semua.”

  “Apaan emang Dim? Oleh-oleh dari Jakarta, kan? Pffft.”

  “Dih, jangan ngejek lah Ra, Aku baru pulang liburan ke Eropa ini.”

  Aku mesem, tidak terlalu heran sih dengan ucapannya, tak  pernah seheboh cewek lain yang langsung bilang ‘wow’ lalu jadi penasaran dengan cerita liburannya.

  “Aku tahu kamu gak bakal exaited sama cerita liburanku, Ra, dulu saja pas aku liburan ke Yunani, kamu cuma nanyain ngefoto pantai Athena yang gak ada wajahku gak?”

  Aku terkekeh.

  Kulihat Dimas lalu mengeluarkan ponselnya yang berwarna gold dan lagi in karena itu edisi terbaru dari merek apel kegigit dan baru dipasarkan di negeri barat saja. Aku heran? Tidak ah, biasa saja.

  Dimas lalu menunjukkan foto isi mobilnya. “Nih buat kamu semua.”

  Wanjayyy! Kalau sekarang aku baru kaget dan terkagum-kagum. “Aku gak salah liat kan ini Dim?” tanyaku ketika menemukan berbagai macam pakaian wanita dalam foto itu, dan semuanya dari brand kelas dunia.

  “Yap. Lihat baik-baik, Ra. Ada Prada, Chanel, Ralph Lauren, ada Versace juga.”

  “Aih, trims, Dim.”

   Dimas tersenyum lebar.

  “Kamu memang sahabatku yang terbaik, Dim.”

  Entah kenapa, Senyum Dimas memudar. Tapi kuabaikan karena pandanganku sedang tertuju ke arah ruangan kerja Sisy yang dipenuhi antrean panjang para pembeli minuman. Wah, kayaknya Sisy butuh bantuan gue nih.

  “Ra.”

  “Eh, iya Dim?”

  “Kamu masih jomblo aja, Ra?”

  Ting!

  Tiba-tiba ponselku berdenting. Ada pesan Whatsapp masuk. Aku pun buru-buru menengoknya. Sisy?!

  Sisy Pujianty: Mbak Li, please, help me, ini gue keteteran.

  “Dim, kutinggal dulu ya!” ucapku cepat seraya memasukkan ponselku ke tas lalu menyangklong tasku sebelum akhirnya bergegas meninggalkan Dimas.

  "Ra, Ra, oleh-olehnya gimana?" Dimas berseru.

  Aku menoleh sesaat. "Nanti aku pilih satu aja Dim! Bye bye, aku kerja dulu."

BERSAMBUNG....

Trims sudah baca, Gengs, sampai ketemu lagi nanti malam di akunnya Mbak Cepty Brown, karena hari ini aku kebagian ngetik Babnya Delvano Charies di Lantunan Takbir Cinta.

See you, jangan lupa vomment, yang belum follow jangan lupa follow dulu ya 🙏

A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Where stories live. Discover now