Bab 5 [Mood]

3.3K 288 15
                                    

  Reno membelai pipiku dengan lembut seraya terus menyapukan lidahnya dalam rongga mulutku, ciuman hangat ini lantas diakhiri Reno dengan mengecup bibirku dan ia tersenyum. “Selamat bekerja, Bu Liora, yang semangat,” ucapnya kemudian. “Terima kasih untuk apelnya.”

  Akupun mundur dan tersenyum. “Ini uang service mobilnya diterima ya Ren.”

  Reno malah menggeleng dan membuka pintu mobil lalu turun. “Simpan saja, Bu.”

  Kulihat Reno lantas bergegas pergi, meninggalkanku dalam keterpakuan, juga sunggingan senyum bahagia. Ah, apa ini namanya, Tuhan? Kenapa mood saya jadi bagus padahal sebentar lagi saya akan bertemu Pak Bagio?

  Sepeninggal Reno, aku segera turun dari mobil, menguncinya dan siap melenggang masuk ke restoran D’Crunchy.

  Suasana restoran mulai ramai saat aku melewati ambang pintu masuk, aroma kentang goreng dan daging panggang menguar, denting suara piring beradu dengan sendok dan garpu memenuhi ruangan disertai suara percakapan yang ramai.

  Aku langsung kaget melihat Pak Bagio duduk di dekat pintu masuk dan menatapku tajam, membuat tubuhku seolah dibekukan di kutub utara.

  “Ra, kemari.” Pak Bagio memanggilku seraya menunjuk kursi kosong di seberangnya.

   Lemas sudah badan ini kalau sudah melihat muka sangarnya yang beralis besar dengan ujung setinggi Himalaya, giginya tampak berderit seolah menyembunyikan kegeraman akut.

  Lelaki paruh baya bertubuh tambun itu lalu mengepalkan kedua tangannya di atas meja begitu aku duduk dengan wajah ketakutan. Harus siap disidang nih gue, batinku seraya meremas kuat-kuat tasku yang kupangku. Aku lantas mengeluarkan sebuah map dari tasku berisi laporan keuangan yang seharusnya sudah kuserahkan kepadanya beberapa hari lalu, tapi karena menemuinya sesusah menemukan dugong di rawa-rawa, jadi bukan salahku, kan? Di WA juga tak dibaca, eh giliran pas dia datang selalunya di saat aku telat masuk.

  Menerima map merah itu dan membukanya, kulihat mulut Pak Bagio yang berhias dua gigi emas mulai ikut terbuka juga. Wah, wah, siap disemprot dengan disinsfekstan dari mulutnya nih gue.

  “Kamu itu ya Ra, kalau dikandani susah amat! Kan saya sudah bilang---.”

   Belum sampai Pak Bagio menyelesaikan omelannya, tiba-tiba....

  “Morning, Liora!”

   Seseorang menyapaku dari arah belakang, suara seorang pria, dan itu terdengar tidak asing.

   Dahiku langsung dibuat mengernyit karenanya, terlebih ketika melihat air muka Pak Bagio berubah drastis di hadapanku, yang tadinya mirip gunung Merapi mau erupsi, sekarang berubah jadi gunung Tidar yang hijau dan sejuk.

  Aku pun menoleh dan lumayan dibuat kaget.

  “Dimas?!” ucapku tak menyangka. Kok dia bisa sampai sini?

  “Morning Ra, Morning Om Bagio,” ucap pria muda itu yang lalu menarik kursi di sebelahku dan ikut duduk.

  Dimas ini adalah teman kuliahku dulu di Jakarta, orangnya humble, care, ramah, apa lagi ya? Satu lagi yang selalu kuingat darinya, dia lahir dari keluarga super tajir, papanya seorang pemilik perusahaan tambang di Kalimantan.

  Tunggu, tunggu, tunggu, aku gak salah dengar kan ya? Dimas manggil Pak Bagio dengan sebutan Om? Mereka kenal dimana, seumur-umur, sejak kerja dua tahun di D’Crunchy cabang Jakarta, aku tak pernah tahu kabar perkenalan mereka.

  “Maaf ya ganggu perbincangan kalian?”

  Aku masih bengong oleh kehadiran pria berkemeja rapi khas orang kantoran ini.

A Bad Boy Called Reno ✓ (Selesai - Lengkap - Terbit)Where stories live. Discover now