part 1

509 13 0
                                    

"Sha, ibu minta uang tujuh juta, katanya kemarin itu bayar uang jaminan rumah sakit pake uang ibu hasil menggadaikan emasnya"

Dadaku terasa begitu sesak mendengar ucapan mas Zaka.

"Ya Allah mas, aku ini masih nggak berdaya di rumah sakit, kok tega kamu sudah meminta uang!". Bibirku bergetar mencoba menahan tangis.

"Soalnya besok ibu ada kondangan, malu katanya kalo kondangan tapi nggak pake perhiasan". Ucapnya lagi tanpa merasa bersalah.

"Astaghfirullah..." Batinku

"Kamu jual aja motor yang kamu pakai, itu kan aku yang beli".

Aku ingat bagaimana mas Zaka membujukku untuk membelikannya motor. Alasannya,  daripada suntuk di rumah sebelum mendapat pekerjaan, mas Zaka memutuskan untuk menjadi ojek motor.

"Sha, gimana kalo mas ngojek aja. Daripada bengong aja di rumah, Azka kan sudah ada mba Tuti yang jagain"

"Ooh ya udah, bagus mas kalo gitu. Biar kamu punya kesibukan".

"Tapi..."

"Tapi apa mas?"

"Motornya kan udah tua, takut nanti mogok pas bawa penumpang, kemarin aja mogok pas jemput kamu"

Lagi-lagi aku hanya bisa meng-iya-kan kemauan mas Zaka.

"Ooh ya udah, beli aja mas"

"Kamu punya tabungan nggak Sha?"

"Loh, kok aku sih mas? Tabungan kamu kemana? Selama kamu kerja di Medan, kamu nggak pernah loh transfer gaji kamu" tanyaku sambil menatap mata mas Zaka, berusaha mencari tahu kebenaran kemana gajinya selama ini.

"Hutangku sama ibu kan banyak Sha... Itu kan juga buat kamu...".

Aaaah itu lagi... Hutang itu lagi yang selalu dijadikan mas Zaka alasan untuk tidak pernah memberiku nafkah lahir.

Ketika menikah dengaku, mas Zaka memberiku sejumlah uang tunai, beberapa gram mas kawin , dan isi rumah lengkap, seperti tv, kulkas, tempat tidur, lemari,meja rias dan lainnya. Tidak mewah, tapi sudah lebih dari cukup untuk pasangan baru menikah, pikirku.

Padahal aku tidak pernah memintanya, tapi mas Zaka yang memberikan. Sontak aku melambung tinggi terbuai dengan usaha mas Zaka ketika ingin menikahiku.

Tetapi ketika aku masih melambung tinggi, aku langsung terperosok ke dasar jurang setelah mengetahui kebenarannya.

Semua yang mas Zaka berikan kepadaku, itu hutang kepada Ibunya. Apalagi aku baru mengetahuinya setelah menikah, semua gaji mas Zaka habis untuk membayar hutang kepada ibunya. Tidak ada sepeserpun yang mas Zaka berikan kepadaku.

Aneh, itu yang pertama kali terlintas di benakku. Bagaimana mungkin, ketika seorang anak ingin menikah, orang tuanya bukan membantu si anak, tetapi malah memberikan pinjaman. Seandainya saat itu mas Zaka jujur belum ada uang, akupun tidak keberatan dengan apa yang dia berikan seadanya, tanpa perlu berhutang kepada ibu.

Lagi-lagi aku naif, berfikir kalo sudah berumah tangga, rezeki bisa datang dari mana saja, bisa dari suami, istri ataupun anak.

Jadi selama menikah, semua biaya keperluan rumah tangga, seperti listrik, belanja bulanan, air, membayar mba tuti, membayar asisten rumah tangga, semua aku yang bayar. Selama itu pula aku tidak mengeluh.

"Sha, jadi gimana? Ada gak uangnya? Nanti aku cicil deh dari uang hasil ojek". Bujuknya sambil menaik turunkan kedua alisnya bersamaan.

Lagi-lagi aku menyerah, aku langsung membelikan motor keluaran terbaru untuk mas Zaka. Meskipun kenyataannya, tidak pernah sedikitpun dia berniat mengembalikan uangku.

Dibuang Seperti SampahWhere stories live. Discover now