"Maaf, aku gak bisa bantu kamu kali ini. Aku harus pulang. Ada tugas lain di rumah." Aku tetap kukuh menolak. Karena sekali aku ketinggalan bus, maka aku harus menunggu 35 menit lagi. "Itu busnya udah keliatan." Aku menunjuk ke arah kiri, tepat di kendaraan berwarna merah tersebut.

"Dasar pelit! Ngomong aja gak mau bantu aku! Sok-sokan nyari alesan segala! Aku tau kamu itu pintar dan aku bodoh. Tapi bisakah kamu menghargai orang yang lebih rendah darimu?" seru siswa itu, raut kesal sangat tertera di wajahnya.

"Maaf, aku harus pulang." Aku segera berjalan masuk ke dalam bus.

"Dasar manusia pilih kasih! Tidak bisa menghargai orang lain! Najis! Aku gak butuh bantuanmu lagi. Dasar sok pintar! Cih!" seru gadis itu setelah aku masuk ke dalam bus. Samar, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Inilah yang tidak aku sukai. Selalu ada orang yang keras kepala meminta bantuanku. Meskipun aku menolaknya karena ada hal lain yang harus aku lakukan.

Dan selalu kalimat buruk yang aku dengar setelahnya. Membuatku merasa bersalah.

Sudahlah, Kayla. Selalu ada cobaan yang datang menimpamu. Dan hanya ada satu cara kamu melewatinya, 'sabar.' Ujarku terhadap diriku sendiri.

"Ayok neng, udah mau jalan ini busnya. Buruan atuh duduk," seru sang sopir yang membuatku terbangun dari lamunan ini.

"Eh, iya pak."

***

Bus kembali berhenti untuk yang ke tiga kalinya. Seperti biasa, sang supir  berteriak mengajak orang-orang yang ada di halte untuk masuk ke dalam kendaraannya.

Seorang penumpang naik, menarik perhatianku yang sedari tadi sedang menikmati suasana jalanan kota.

Lelaki dengan hoodie hitam dan seorang pelajar. Dia berhenti sebentar, bola matanya bergerak menyusuri seisi bus untuk mencari kursi kosong yang tersisa. Yang kemudian kembali berjalan.

Lelaki itu terus berjalan, hingga berhenti tepat di samping kursi yang aku tumpangi. Lelaki itu langsung duduk di sampingku, tanpa meminta izin padaku.

Eh? Untuk apa dia meminta izin kepadaku? Ini kan kendaraan umum. Jadi bebas dong siapa saja boleh duduk di kursi manapun.

Aku melihat ke sekeliling, tidak ingin besar kepala. Dan aku tau alasannya. Semua kursi telah terisi, jadi wajar dia duduk di sampingku.

Lelaki dengan tinggi sekitar 168 senti dan memiliki rambut yang tertata rapi meskipun sudah jam pulang sekolah, begitu juga dengan seragam yang dikenakan. Ujung bawah seragamnya tidak ada yang menyembul keluar. Wajahnya tampan dan hidungnya mancung sempurna. Kulitnya berwarna putih cerah tanpa ada goresan luka di sana. Alisnya mirip ulat bulu, tebal dan hitam.

Astaga Kayla! Kenapa kamu terus menatap lelaki di sampingmu itu?! Bagaimana kalau dia memergokimu?!

Lelaki itu meletakkan tasnya di depan, mengambil buku dan mulai membacanya.

Cukup Kayla! Kenapa kamu ini?! Tidak biasanya kamu memerhatikan seseorang dengan begitu detail. Apalagi dia adalah orang asing bagimu.

"Ada yang salah denganku?" tanyanya dengan menatap ke arahku. Dan di saat itu pula mata kami saling bertemu.

Sial! Aku tertangkap basah telah memperhatikannya. Terbukti dia merasa risih karena tatapanku dan bertanya.

Aku menggeleng gagap. "Eh, eng-gak, enggak ada kok." Aku memalingkan wajah ke arah kaca, melihat pemandangan jalanan dan pohon-pohon yang terlihat berlarian.

Tidak ada balasan. Aku menatap ke depan. Lelaki itu sedang membaca buku yang ada di tangannya. Aku mengintipnya dari balik tudung jaket yang aku gunakan.

Ohh, aku tau buku itu. Buku tentang Olimpiade Nasional. Mungkin dia akan mengikuti lomba tersebut. Pungkasku. Berarti dia adalah anak yang cerdas.

Tapi kenapa dia terlihat sangat pendiam? Sangat tidak acuh kepada orang di sekitarnya. Bahkan sesekali aku melihat gadis yang ada disebelahnya -bukan aku- mengajaknya bicara. Tapi lelaki ini masih saja diam. Terus fokus kepada buku di depannya.

Ah memang lelaki yang sangat misterius. Memang sih tampangnya lumayan ganteng, gak lumayan lagi sih, memang udah ganteng. Tapi sifatnya itu sangatlah dingin.

Bus kembali berhenti. Dan beberapa penumpang kembali naik, mereka, yang kebanyakan pelajar, memilih berdiri karena semua kursi telah penuh terisi.

Lima belas menit, bus tidak berhenti lagi. Dan selama itu pula pikiranku masih fokus kepada lelaki di sampingku ini.

Hingga aku beranjak berdiri, agak ragu untuk mengatakan kepada lelaki di sampingku ini jika aku harus ke depan memberi tau supir karena tak lama lagi aku sampai tujuanku berhenti.

Aku menggeleng. Kenapa ragu? Kamu malu? Memang siapa dia? "Permisi, aku harus ke depan."

Lelaki itu tak menoleh. Hanya menutup bukunya dan menggeser kakinya keluar agar aku bisa lewat.

Aku berjalan ke depan. Memberi tahu sang supir untuk berhenti di halte berikutnya.

Empat puluh lima detik, akhirnya bus berhenti. Aku membayar ongkos dan berjalan turun dari bus.

Aku sempat menoleh ke belakang sebelum keluar. Dan lelaki itu, lelaki yang tadi di sampingku memperhatikanku. Apa tujuannya?

Entahlah, aku tidak tau siapa dia. Dan aku tidak peduli kepadanya. Yang jelas, dia adalah lelaki yang dingin dan misterius.

-To be Continued-


FOR(GET) THE MEMORY [On Going]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon