About Arven | 02

6.2K 581 12
                                    

Arven kadang heran dengan sang Kakak, Gahran cepat sekali menghilang layaknya menggunakan sihir Princess. Contohnya hari ini, setelah meninggalkan parkiran motor, Gahran sudah menghilang tanpa jejak. Membuat Arven yang terkena imbasnya sekarang.

"Ini kotor! Ini nih. Ini Arven, lo punya mata apa enggak, sih?!"

Menghela napas berat, tangannya dipaksa untuk menggerakkan stik pengepelan. Mengepel lantai dengan berat hati. "Apa? Gue nggak lihat sumpah, lo ngomong apaan, hah?!"

"Lo budeg apa buta, hah?! Cepetan elah! Lo sama Gahran nggak ada bedanya, telat sekolah mulu." Velin, gadis manis dengan rambut sebahu itu nampak kesal. Sebagai OSIS yang bijak dan bersahaja, ia harus memberikan hukuman kepada Arven yang telat sekolah.

Sebenarnya, Gahran juga menerima hukuman. Namun pemuda itu sudah menghilang entah ke mana, hal biasa yang membuat Velin lelah menghadapi Gahran. Ia tidak seperti Arven, yang selalu menerima dengan lapang dada walaupun raut wajahnya berkata lain.

"Gahran nggak suka kalo gue disamain sama dia, yang jelas dia kan berandalan, sering bolos sekolah, mainin hati cewek, ngelanggar aturan sekolah. Lah, kalo gue? Gue kan anaknya---"

"Cerewet lo panci karatan! Cepetan beresin, eneg gue lama-lama denger lo yang bacot terus."

"Heh! Lo juga ikut bacot tau! Gue lagi kerja lo malah ganggu, mau berantem, hah?! Ayo! Gue punya kuku panjang buat nyakar sama jambak rambut lo!" ujar Arven terdengar galak, ia memang sering menantang Velin untuk bertarung dengan menjambak rambut, saking kesalnya terhadap gadis manis itu.

Velin sejujurnya tidak habis pikir dengan Arven. Lelaki itu mirip sekali dengan sifat perempuan, cerewet, hobi teriak dan sering mengajak Velin berantem. Namun, wajah Arven yang terlihat tampan dan mempesona membuat Velin percaya bahwa Arven itu lelaki.

"Lo itu lebih bacot! Udah ah, males gue lama-lama sama lo, Ven. Pergi sana!"

"Yaudah gue pergi! Ogah juga gue liat muka lo yang kayak lemari penyok." Arven membuang kasar alat pel. Ia segera pergi ke kelas meninggalkan Velin yang tengah berdiam diri.

°°°

"Nape lo pagi-pagi?"

Arven menyenderkan tubuhnya di dekat tembok, untungnya kelas nampak ramai saat ini, lantaran tidak ada guru yang mengajar. Jadi, ia bisa beristirahat barang sejenak.

"Ban motor gue bocor njir."

Zen menoleh sejenak sambil menaikan sebelah alis. "Ya terus?"

"Gue nanti sama siapa pulangnya, bego?!"

"Ya sama Gahran lah, siapa lagi?"

Arven memajukan bibirnya, membalikan tubuh menghadap ke meja, menidurkan kepalanya yang kembali berdenyut. "Gahran kalo pulang nggak langsung ke rumah. Yakali gue ngikutin dia ke sana ke mari, kan nggak elit."

"Iya juga. Naik taksi aja, kadal!" ujar Zen memberi saran, laki-laki hidung mancung itu mengambil benda pipih dan mulai memaikannya.

"Gahran nggak ngijinin naik Taksi." Arven memejam sejenak, menikmati hawa kelas yang ramai dan riuh. Tetapi tak terasa risih dan gerah.

"Posessive banget si Gahran."

"Emang. Gue mau tidur, kepala gue sakit, nanti dibangunin, ya, Kak Zen."

Zen mendecak kesal. "Gue bukan kakak lo, anjer."

Tidak ada sahutan, Zen menoleh sejenak. Ternyata anak itu sudah menutup matanya rapat, senyuman tipis terbit hanya beberapa detik. Nyaman melihat sahabatnya yang tengah tertidur saat ini.

Ini memang kegiatan Arven di pagi hari, anak itu memang lumayan pintar. Namun Arven selalu saja bersikap santuy di mana pun, seperti tidur, tidak membuat pr, dan membolos. Mirip dengan Gahran, tetapi perbedaannya Arven lebih pintar dan ceria daripada sang Kakak.

°°°

"NASI GORENG TANTE SHINTA KOK KUNING?!"

"Lo bisa nggak, sehari aja jangan teriak?! Telinga gue budeg lama-lama bangke!" Zen menepuk pundak Arven untuk duduk, mereka berdua baru saja sampai di Kantin dan Arven sudah berteriak heboh melihat nasi goreng Tante Shinta.

"Ya gue kaget aja, nasi gorengnya kok berubah jadi warna kuning?"

"Nasi kuning itu, njir. Bukan nasi goreng!"

"Tumben Tante Shinta jualan nasi kuning." Arven melihat-lihat menu hari ini. "Ih tumben tempenya dipotong kecil-kecil, biasanya juga panjang-panjang."

"Bacot!"

Arven menyengir manis mendengar umpatan Zen yang begitu halus, hingga hatinya merasa senang.

"Lo duduk gih, gue pesenin. Daripada lo bacot di sini," ujar Zen menyuruh Arven untuk duduk, ia tidak mau mendengar celotehan Arven yang tidak jelas, lagipula Arven tidak kuat berdiri lama. Jadi, lebih baik menyuruhnya diam dan duduk manis.

Dijawab anggukan oleh Arven, ia berjalan ke arah meja makan. Duduk bersama Arfan yang sudah menunggu. "Fan, nggak nganggurin tuh cewek?"

Arfan menoleh ke arah apa yang ditunjuk oleh Arven. Ia tersenyum tipis sambil menggeleng. "Capek ah, alim sejenak. Biar nggak jadi playboy."

Arven hanya terkekeh pelan, ia terlihat celingak celinguk di Kantin. Melihat Gahran yang belum menampakan batang hidungnya.

Puk

"ANJING KAGET GUE BANGSAT!"

Arven tersentak kaget ketika pundaknya ditepuk, seluruh penjuru Kantin nampak biasa saja dengan teriakan Arven. Ia menghela napas lega sambil mengusap dadanya ketika organ jantung mulai bergerak tidak santuy dan membuatnya sesak napas. Gahran yang peka langsung membisikan kata 'maaf'.

"Lo pesen apa?" tanya Gahran ikut duduk di samping Arven, bajunya nampak ke luar dan rambutnya acak-acakan. Arven sempat mencium bau rokok dari napas Gahran, terbukti bahwa lelaki itu usai merokok.

"Pesen nasi kuning, menu barunya Tante Shinta," sahut Arven seadanya sambil sedikit terbatuk.

"Jangan pesen yang aneh-aneh. Nanti pulang sama gue, jangan naik taksi."

"Tapi, gue--"

"Nggak ada bantahan lagi, Ven." Gahran mencubit pipi Arven, lalu beranjak dari tempat duduk sang adik. Pergi ke arah kantin paling pojok, terdapat lelaki kelas 12, yang pastinya itu teman-teman Gahran.

Arven menghela napas, ia menidurkan kepalanya di atas meja. "Gue itu ggak mau ngerepotin lo, Kak."

-----

15 APRIL 2020

About ArvenWhere stories live. Discover now