Kami belum bercinta, ya aku memang perlu memberi penghargaan yang setinggi-tingginya pada Erick karena ia begitu hebat mengendalikan dirinya. Aku mengecup keningnya hal yang belum pernah kulakukan.

"Kita ke Hohenwarthe hari ini?"

"Oke." Jawabku antusias sambil melompat turun dari pangkuannya.

***

Erick Leitner

Aku memang lahir di kota ini namun aku tidak punya banyak kenangan di sini. Setelah dewasa pun aku hanya sekali kembali ke Jerman. Ada beberapa kerabat Papa yang saat ini tinggal di Hohenwarthe, sebuah kota kecil atau bisa kubilang desa yang hanya 15 menit jaraknya dengan berkendara dari Magderburg. Aku akan mengajak Ava mengunjungi gereja dimana Papa dan Mama menikah, dan tempat dimana rencananya aku juga akan menikahi Ava.

Aku tidak pernah membayangkan perjalanan cintaku yang singkat ini pada akhirnya begitu sarat dengan nostalgia dan terkesan romantis ala-ala film percintaan Hollywood. Aku tidak pernah membayangkan akan menikah di tempat orangtuaku bahkan buyutku menikah dulu. Hal yang romantis bukan? Aku bahkan tidak berpikir tentang hal ini sama sekali. Namun hubunganku dengan Ava yang bahkan belum genap setahun justru secara tidak sengaja membawaku mengulang kenangan kedua orangtuaku. Papa justru adalah orang yang pernah menginginkan aku menikah di tempat yang sama dengannya dulu. Karena ia terbawa nostalgia tentang almarhumah mamaku. Papaku mungkin termasuk orang yang romantis sedangkan aku lebih seperti mamaku yang praktis. Karena menurut Papa, justru dulu yang meminta mereka menikah di Jerman dan bukannya di Jakarta adalah mamaku yang berpikir akan lebih praktis di segala hal di bandingkan pernikahan di Indonesia yang pasti akan menghabiskan lebih banyak waktu dan uang. Ya, begitulah Mama.

Sedangkan pikiran praktisku tentu saja seperti Mama tapi bukan ke masalah uangnya, karena hal itu bukan masalah buatku, tapi lebih kepada waktu dan tentu saja karena aku tidak mau menyulitkan Ava. Di balik hal praktis ini, nostalgia Papa dan Mama justru kembali dihidupkan. Jadi bagiku ini sebuah kebetulan yang sempurna.

Sebelum ke Hahenworthe, aku dan Ava berjalan kaki menyusuri kota. Hal yang sejak awal Ava tiba di sini, ingin ia lakukan bersamaku. Kami mengunjungi Katedral Magdeburg tempat dimakamkannya Kaisar Otto The Great. Masuk ke area Katedral memang gratis, tetapi kami harus membayar 2 Euro untuk bisa berfoto-foto di tempat ini. Aku yang tidak terlalu suka difoto pun terpaksa harus mengalah dengan rengekan Ava. Bagaimana aku bisa menolak wajah cantik dengan ekspresi memohon di depanku ini? Meski aku harus diminta bergaya imut bersamanya saat kami berdua berfoto di bawah air mancur katedral, apalagi aku harus bergaya di depan orang asing yang kami mintai tolong untuk mengambil gambar kami. Tapi aku bisa apa saat melihat Ava tersenyum dan tertawa begitu bahagianya saat melihat ekspresiku yang kaku. Aku akan melakukan apapun agar ia bisa terus tersenyum dan tertawa seperti sekarang.

Kami kemudian berjalan menuju Benteng Hijau atau Green Citadel, yang terletak hanya beberapa meter dari katedral. Green Citadel sebenarnya bukan hijau, melainkan merah muda. Bangunan merah muda, yang dirancang oleh Hundertwasser seorang seniman visual Austria. Desain arsitekturnya benar-benar unik.

Setelah cukup berjalan kaki di tengah kota, di udara yang sangat bersahabat, di akhir musim semi ini, dengan menggunakan mobil rental kami menuju Hohenwarthe. Jaraknya hanya 13 KM dari pusat kota Magderburg.

"Kapan-kapan kita ke Hohenwarthe naik sepeda aja." Beritahuku saat kami menyusuri jalan besar kota dengan pemandangan tepi sungai Elbe yang terkenal dengan jembatan airnya itu. "Ada area untuk kemping yang cukup luas di sana dan ada rute sepeda yang langsung ke Hohenwarthe. Keren kan?"

"Oh ya? Sebulan di sini aku masih belum tahu kemana tempat yang bagus untuk refreshing kecuali toko swalayan di seberang jalan apartemen." Keluh Ava yang mengundang senyumku. Aku mengulurkan tangan mengelus kepalanya.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now