Prolog

4.5K 312 5
                                    

Ketika prinsip berbenturan dengan realita, suatu kesepakatan terkadang akan lebih sulit didapat—lebih sering tidak mencapai titik temu. Salah satu pihak menginginkan perusahaan yang bersih dan memiliki idealis tinggi, tetapi pihak lain mengandalkan peluang dan berpikir praktis agar pendapatan mengalir secara stabil tanpa modal besar. Semua yang hadir dalam rapat ini pun tahu jika kami sedang dalam posisi terjepit, tetapi perdebatan dua orang—masing-masing memiliki kubu dengan jumlah seimbang—di seberang makin membuatku pening.

Bolpoin kuletakkan ke atas meja, lalu menyandarkan bahu pada kursi. Kedua tangan turut kuangkat, kemudian menyilangkannya membentuk pose bersedekap. Masih kuamati adu mulut yang terjadi antara Mbak Dita dan Mas Robi yang seperti tidak mengenal lelah untuk meraih juara debat.

"Idealismu itu egois. Perusahaan kita punya karyawan. Mereka butuh makan. Kalau kita terus-terusan kayak gini, kamu mau gaji mereka pakai tabunganmu?" gebu Mas Robi sampai-sampai meja rapat bergetar akibat gerakan tangannya.

"Perusahaan kita bonafit, Rob! Bukan ecek-ecek kayak kaleng rombeng. Artis-artis kita punya bakat hebat, dan itu harus. Aku yang menentukan kriteria calon artis perusahaan ini. Banyak uang yang udah kita keluarin untuk menjadikan mereka tenar. Terus sekarang, kamu mau nyomot artis nol prestasi yang kerjaannya bikin sensasi? Where's your mind?"

"Apa artismu nyumbang cuan ratusan juta ke rekening perusahaan dalam tiga bulan terakhir? Satu bulan terakhir?" Mas Robi menoleh kepadaku dengan wajah berapi-api. "Tunjukin rekap keuangannya," titahnya kepadaku tanpa titik koma.

Dengan tetap memandang Mas Robi, kubalik lembaran kertas yang berisi print out laporan keuangan selama enam bulan terakhir. Pandangan kuturunkan saat memastikan letak halaman yang dia inginkan. "Current liabilities nggak bisa kita bayar karena ketidakseimbangan proporsi aktiva lancar, yang mana piutang usaha dan kas turun drastis dalam enam bulan terakhir. Sementara itu, kita harus—"

"Sederhananya?" Potong Mbak Dita

Napas panjang kuhela. "Besar pasak daripada tiang. Operasional untuk mendapatkan peran pada beberapa film dan iklan, nggak sebanding dengan yang mereka peroleh." Kuberikan laporan tersebut ke Mbak Dita. "Jika seperti ini terus, enam bulan lagi perusahaan terancam bangkrut."

Kernyitan Mbak Dita tidak kunjung luruh dan makin dalam setelah memegang tumpukan lembaran tersebut yang kubendel dengan paper clip. Tangannya terus membolak-balik lembar demi lembar yang menjadi pusat permasalahan rapat kali ini.

Mbak Dita dan Mas Robi yang menjadi komisaris perusahaan kami, pada akhirnya turun tangan setelah Linda—adik Mas Robi, sekaligus menjabat direktur utama—kebingungan mencari jalan keluar ketika segala upaya untuk mengatasi hal ini tidak kunjung mendapatkan hasil.

"Apa yang dikatakan Mas Robi ada benarnya, walau tidak seluruhnya aku setuju," kataku menyumbang suara.

"Menurutmu apa yang terbaik?" tanya Mas Robi merespons kalimatku.

Kukedikkan bahu karena aku tidak tahu pasti hal yang kupikirkan sudah benar atau belum. "Yang jelas aku akan mengkaji ulang strategi pertumbuhan ekonomi perusahaan ini agar dapat memaksimalkan potensi yang ada. Untuk sementara, ide Mas Robi cukup baik, tapi setidaknya jangan artis yang penuh sensasi. Hal itu jelas akan mempertaruhkan nama baik perusahaan. Menggaet mereka pun tidak segampang itu."

"Oke." Mbak Dita terdiam sesaat. "Aku rasa, lebih baik kita sudahi dulu rapat kali ini. Pada pertemuan selanjutnya, masing-masing wajib menyiapkan nama yang siap untuk kita gandeng dan yang jelas aku akan melihat seberapa kuat bakatnya," putus Mbak Dita menutup rapat siang ini. Dia lantas berdiri, kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Hal serupa diikuti Mas Robi dan beberapa karyawan lain.

Unforgotten DecemberWhere stories live. Discover now