Larut

485 51 1
                                    

Siswa-siswi yang ingin melihat hasil try out makin berjubel. Badanku sedikit terdorong ke samping saat mencari keberadaan namaku pada daftar nilai. Jerit bahagia, helaan lega, dan ungkapan kekecewaan, saling bersahutan mengisi gendang telinga. Dua sahabatku turut meramaikan suasana, tetapi dengan ungkapan kecewa. Nilai mereka pada salah satu mata pelajaran berada di bawah standar.

Aku masih terdiam di antara padatnya siswa. Bingung harus berkata apa lagi untuk menenangkan Putri. Perempuan itu akan mengeluh sepanjang hari jika merasa gagal lagi.

"Mesti gimana lagi, sih?"

Aku dan Tania secara serempak memandang Putri yang berdiri di antara kami. Sedetik kemudian, kami saling beradu pandang, lalu sama-sama menghela napas panjang.

"Ck, lihat, deh, nilaiku." Tania menunjuk daftar nilai di depan kami. "Lebih hancur daripada punyamu."

"Soal kemarin emang agak sulit. Anak-anak juga banyak yang nggak lulus," kataku menenangkan Putri, lalu mengajaknya keluar dari kerumunan. Kami beriringan menuju bangku kosong di lorong sekolah.

"Bapakku, Guys!"

Kutempatkan diri di ujung kursi panjang, bersebelahan dengan Putri. "Put, aku tahu posisimu nggak mudah. Aku ngerti sebalnya dimarahi setelah kita berjuang keras. Kamu juga tahu betul kemungkinan reaksi orang tuamu setelah ini. Jadi, bangunlah benteng! Jangan sampai rasa kecewa itu mengalahkanmu! Jangan sampai pikiran buruk menguasaimu! Yakin, deh, kamu pasti bisa! Aku yakin banget kamu bakal jadi orang hebat."

Putri masih terdiam. Namun, tidak berselang lama, dia berkata, "Capek rasanya." Suaranya mulai bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Kuputuskan untuk mengusap lembut pundaknya. "Sakit ditekan terus, Mel," lanjutnya lirih.

Aku terdiam mendengar isak tangis Putri. Dia lalu menangkup wajah untuk membungkam sedu tangis yang makin kencang. Aku menyarankan untuk menangis sekencang mungkin agar merasa lega.

"Kadang aku iri lihat kamu."

Perhatianku berpindah pada perempuan yang duduk di samping Putri. Tatapan Tania sulit dideskripsikan. Diam, memandang kosong taman di seberang kami.

"Gimana, sih, rasanya dimarahi ayah ibu?" Kepalanya tertunduk. Sementara itu, telunjuknya memainkan ujung dasi. "Gimana, ya, rasanya diajari baca dan nulis?"

Isak tangis Putri berangsur mereda. Aku pun enggan memalingkan wajah darinya. Baru kali ini Tania mengungkapkan isi hatinya. Dia adalah pribadi yang tertutup. Hanya kakek dan neneknya yang selalu diceritakan.

Sudut bibir Tania terangkat. Aku dapat melihat senyum itu tampak dipaksakan. "Bersyukurlah, mereka masih bisa memarahimu. Kamu bisa mengerti rasanya diperhatikan orang tua." Dia kembali menundukkan pandangan. "Nggak punya orang tua lebih sakit, Put."

Gema pantulan bola basket, derap langkah beberapa pejalan kaki, dan perbincangan dari berbagai sudut sekolah mengambil penuh indra pendengaranku.

Bungkam seribu bahasa. Aku kehabisan kata-kata. Hatiku terenyuh mendengar ungkapannya. Bahkan, kata sakit yang Tania katakan dapat kurasakan.

"Itu kenapa aku nggak mau bahas orang tuaku di depan kalian." Tania mendongak melihat langit. Ia lalu menghela napas dalam. "Apa yang kita pikir buruk, belum tentu seperti itu, juga sebaliknya." Dia lalu menoleh pada kami. Menyunggingkan senyum tulus dari hati. "Bakso, yuk!"

***

Warung akan ramai pengunjung saat jam makan siang tiba. Itu pendapat Tania beberapa menit yang lalu. Namun, ternyata, pendapat itu harus dikaji lagi sebelum diterapkan di warung bakso langganan kami. Justru, jam pulang sekolah menjadi sasaran para siswa yang ingin mengisi perutnya dengan sajian murah meriah. Strategi marketing dari mulut ke mulut, terbukti jitu menjadikan tempat ini terkenal dalam waktu singkat.

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang