[Satu]

4.8K 567 37
                                    

Dhisan Azriel

"You never love me." Matanya mengarah ke gue, tapi bukan gue yang sedang dilihatnya, melainkan hampa. Tatapan matanya kosong.

Gue berusaha menyamankan posisi duduk yang nggak pernah nyaman setiap kali menghabiskan waktu dengan Shila, tapi tetap aja nggak berhasil. Gue malah semakin merasa ada ribuan bulu-bulu tak kasat mata yang meyapu seluruh permukaan kulit gue, sehingga membuat tubuh gue meremang.

"Pelan-pelan. Aku bakal berusaha lebih keras lagi," kata gue, mencoba meyakinkan.

Di seberang meja yang memisahkan, Shila mengumbar tawa mencemooh. "Gimana bisa? Sementara Luna ternyata memiliki perasaan yang sama denganmu?"

Kali ini gue mendelik. Sedikit takjub. Bukan karena kenyataan bahwa Shila tahu siapa perempuan yang gue cintai, tapi lebih kepada pernyataannya yang mengatakan bahwa cinta gue ternyata nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi ... darimana Shila bisa menyimpulkannya?

Sebagai jawaban, Shila menyodorkan ponsel gue yang sepertinya berpindahtangan saat gue ke kamar kecil tadi. Di permukaan layar pipih itu terpampang pesan dari Luna.

Dhisan, gue tahu ini sedikit telat,
Tapi gue merasa lo perlu tahu,
Kalau gue sayang sama lo.
Lebih dari sekadar sahabat.

Sibuk membaca tulisan dalam diam, tanpa gue sadari Shila ternyata sudah mengambil langkah yang terlalu jauh. Hingga gue nggak mungkin bisa menjangkau saat dia berteriak kencang, sambil melemparkan tubuhnya melewati pembatas gedung. Suara teriakannya menggema kian mengecil dan diakhiri dengan sebuah suara DEBAMMMM!!! Yang begitu kuat.

Menyusul teriakannya, gue berusaha mencegah dengan berdiri cepat dan berteriak. "Shilaa, Nooooo!!!" hingga kursi yang gue duduki terjungkal begitu aja.

Tapi tangan gue hanya bisa menjangkau hampa.

Suara gue yang begitu lantang nggak berhasil mengangkat tubuhnya kembali ke lantai 22, rooftop Gedung Saka, tempat gue dan dia seharusnya dinner merayakan pertemuan kedua keluarga yang sepakat untuk menikahkan kami.

Riuh rendah terdengar samar. Orang-orang mulai menyesaki area pembatas—tepat di tempat Shila terakhir kali terlihat—dan memastikan kalau gadis yang sejak tadi duduk dan menikmati makan malam dengan gue baru saja terjun bebas dan melayangkan nyawanya sendiri.

Gue membelalakkan mata. Merasakan seluruh tubuh gue basah dibanjiri keringat, gue berusaha menormalkan kembali napas gue yang ngos-ngosan.

Mimpi itu terulang lagi.

Mungkin nggak tepat disebut sebagai mimpi walau muncul di saat gue tertidur pulas, karena sejatinya gue pernah mengalami semua yang terjadi di dalam mimpi itu. Mungkin lebih tepat disebut sebagai reka ulang. Reka ulang hari kematian tunangan gue.

Dengan gue, sebagai pembunuhnya.

**

Sheza Widyanata

Dua minggu masa kerja, dengan perasaan yang masih sama gamangnya dengan hari pertama. Suasana kantor sendiri sebenarnya cukup nyaman. Mengambil lokasi di sebuah perumahan dengan bangunan tipe 45 yang dibangun di atas tanah berukuran 100m persegi, kantor tempatku bekerja terletak di lantai dasar, sementara lantai dua adalah tempat tinggal bos besar.

Untuk ukuran kantor, tempat ini sebenarnya tidak ada mirip-miripnya dengan kantor-kantor pada umumnya. Di tempat ini, tidak ada meja atau bangku khusus dengan pemilik khusus. Tidak ada. Yang ada hanya sofa-sofa supernyaman dengan segala furniture yang sangat homey. Para pekerja bebas menentukan tempat ternyaman versi masing-masing untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Aku sendiri telah memutuskan untuk memilih bangku panjang dengan bantalan super empuk di dekat taman belakang sebagai tempat ternyamanku. Tidak jauh dari pantry yang berisi segudang makanan yang bebas dikonsumsi siapa saja, kapan saja.

My Gift is My CurseWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu