Kereta

11 0 0
                                    


Angin malam yang dingin bertiup kencang saat Ia memberikan satu lembar uang duapuluh ribuan kepada supir gojek yang mengantarnya itu. Ia berjalan pelan melewati gerbang stasiun lengkap dengan jaket yang lumayan tebal dan sebuah ransel yang merangkul di punggungnya. Terdengar suara obrolan di kejauhan yang berduet dengan suara bel pengumuman dari dalam stasiun dan raungan bunyi klakson kereta api. Waktu sudah menunjukan lewat tengah malam tetapi stasiun itu tak terlihat sepi.

Dengan perasaan bergairah tangannya membuka secarik kertas yang merupakan tiket kereta menuju Purwokerto ketika ponselnya berbunyi menandakan ada sebuah pesan masuk.

Pengirim : Alfi

Hey kamu sudah berada di stasiun, 'kan? Hati-hati di jalan, semoga perjalanan 'solo'mu menyenangkan! Hahahaha

Ia mendengus geli membaca pesan tersebut dan memutuskan untuk langsung menelepon teman bernama Alfi itu.

"Kalau kamu meledek aku terus, aku nggak akan ragu untuk kembali memesan gojek dan tidur di kasurku yang hangat sekarang juga." Katanya bercanda dengan nada kesal yang dibuat-buat.

"Ayolah, berhenti merajuk, Jaka. Siapa tahu kamu bertemu perempuan cantik seperti tahun lalu di kereta." Ujar Alfi "Atau mungkin kali ini lebih cantik." Lanjutnya dibalik telepon membuat laki-laki bernama Jaka itu tersenyum dan menggeleng pelan dengan pandangan yang menerawang menatap kereta api yang melesat di depan tempatnya berdiri.

"Aku lebih berharap aku bertemu perempuan yang sama."

Kurang lebih satu tahun yang lalu, Jaka berada tepat di tempat Ia berdiri sekarang, Stasiun Kereta Api Kiaracondong Bandung. Dengan ransel yang sama, sepatu gunung yang sama, dan tujuan yang sama. Dieng. Tapi tidak dengan perasaan yang sama seperti sekarang. Tahun lalu, sempat tak ada perasaan senang atau pun bergairah.

Hari itu pada jam yang sama Jaka melangkah pelan mendekati peron ketika suara klakson kereta terderngar dari kejauhan. Ia lalu duduk di samping sebuah jendela dalam sebuah gerbong yang agak sepi penumpang.

Tangan kanannya mengusap layar ponsel memilih-memilih lagu seraya tangan kirinya memasangkan earphone pada kedua telinganya. Ia lalu membuka sebuah email yang berisikan meeting point dan jadwal yang akan diikutinya selama tiga hari dua malam ke depan dengan pikiran yang melayang. Dalam hati Ia berharap bisa menemukan sesuatu dalam perjalanan ini. Semacam tujuan hidup mungkin.

Ia sedang memejamkan matanya ketika kereta sudah mulai merayap meninggalkan stasiun dan mulai berjalan stabil membelah gelapnya malam. Masih dengan lamunan soal hidupnya yang terasa tidak berarti.

Jaka membelalak kaget ketika Ia membuka matanya dan menemukan seorang perempuan duduk di hadapannya sambil memakan sepotong roti bakar. Perempuan itu terlihat seumuran dengannya dengan rambut hitam lurus sebahu dan poni yang menyamping. Ia mengerjap beberapa kali tak sadar bahwa perempuan itu ada disana sejak tadi.

Ia tersenyum halus sambil menggeleng pelan ketika perempuan itu menyodorkan sebungkus roti bakar dari pangkuannya.

"Sendirian?" Tanya perempuan itu masih mengunyah sambil menatap sekeliling mencari apakah Jaka bersama seseorang.

Ia mengangguk-angguk pelan melepas earphonenya. Deretan gerbong itu kini mulai meninggalkan kota Bandung.

"Kamu?" Jaka membenarkan posisi duduknya dan bersandar.

"Sama." Perempuan itu lalu mendengus geli membuat Jaka ikut terkekeh. Travelling sendirian memang terdengar menyedihkan. "Mau naik gunung apa?"

Jaka kembali terkekeh tahu orang-orang akan berpikir seperti itu saat melihat penampilannya. Ia menggeleng lagi membuat perempuan itu mengeluarkan ekspresi bertanya.

"Dieng culture festival." Jawabnya seketika membuat perempuan di hadapannya itu membelalak.

"Aneh. Kebetulan macam apa ini." Perempuan itu mendengus geli dengan ekspresi tak percaya. "Sama." Katannya dengan nada yang sedikit menyahut membuat mulut Jaka terbuka dengan mata yang membulat. Kini keduanya tertawa bersama.

"Jaka." Ia mengulurkan tangan yang kini disambut perempuan itu.

"Nabil."

Sudah empat jam lebih kereta itu melaju dengan kecepatan stabil. Pemandangan diluar jendela yang awalnya tampak seperti ditutupi sehelai kain hitam dan sesekali menunjukan indahnya pancaran sinar dari lampu rumah-rumah yang berkelip, kini langitnya mulai berubah lebih terang dengan semburat merah muda.

Suara mesin kereta api dan klakson yang kadang dibunyikan menemani obrolan pelan Jaka bersama perempuan yang kini tertawa pelan di hadapannya. Jaka sempat tertegun ketika melihat senyumannya terasa familiar dan mengira perempuan itu adalah teman dekatnya dulu. Ia lalu menepis pikirannya ketika mengingat perempuan ini ternyata mempunyai nama yang berbeda.

"Kita sama sekali nggak tidur. Nggak capek?" tanya Jaka setelah obrolan mengenai band indie—yang ternyata merupakan band favorit mereka—akhirnya selesai.

Jaka merasa tidak enak dan berpikir mungkin saja gara-gara mengobrol dengannya, Nabil merasa terganggu. Jaka tidak merasa begitu lelah karena Ia terbiasa terbangun pada tengah malam dan dini hari. Bergadang untuk mengerjakan tugas ataupun hanya sekedar overthinking.

"Enggak kok. Aku jarang tidur jam segini." Nabil menghela napas lalu meneguk air mineral pada botol plastik. Entah untuk ke berapa kali Jaka terkekeh di tempatnya. "Lho kenapa ketawa?"

"Enggak, lucu aja." Jaka masih tertawa. "Setiap kali salah satu diantara kita bilang 'aku juga' atau 'sama', entah untuk ke berapa kalinya kita punya topik baru. Terus kita bakal ngobrol lebih panjang lagi sampai-sampai..." Jaka berhenti sejenak untuk melihat jam pada pergelangan tangan kanannya. "..empat jam sama sekali nggak terasa."

Nabil langsung melihat keluar jendela menatap langit yang mulai bercahaya. Ia melihat jam bulat kecil pada pergelangan tangan kirinya lalu tergelak mengangguk setuju dengan perkataan Jaka.

Adzan subuh telah selesai dikumandangkan ketika kedua kaki Jaka turun dari gerbong dan menginjak lantai peron dari Stasiun Purwokerto. Nabil yang menyusul dibelakangnya segera merapatkan jaketnya sambil menggerak-gerakan tubuh mencoba menghangatkan diri.

"Sayang sekali kita harus pisah disini ya, Jak." Katanya dengan nada kecewa membuat Jaka mengangguk setuju dengan ekspresi kecewa juga. Keduanya tertawa.

"Semoga kita ketemu lagi ya, Bil."

Nabil mengucapkan selamat tinggal dan melangkah pergi meninggalkan Jaka yang masih terdiam menatap Nabil sampai punggungnya tak terlihat lagi.

Kereta dan DiengWhere stories live. Discover now