D ; peeking the past through the eyes of men

Start from the beginning
                                    

Aku angkat bahu. "Gue nggak tahu juga ya."

"Lah?" Kak Saga ikut bingung. "Gimana sih, Nd—Dyandra? Jadi lo ngasih support sama keduanya itu tanpa latar belakang?"

"Udah kayak skripsi aja pake latar belakang. Lagian... yang paling penting tuh, persoalan Mas Gi. Asal Mas Gi nggak bobrok kayak dulu, asal dia seneng aja, sih. Gue juga udah seneng."

Kak Wiscaka manggut-manggut. "Tapi emang dulu Brian ancur banget abis putus dari Em—"

"—Cak." Potong Kak Saga.

Aku tersenyum tipis. "Nggak papa. Sebut aja namanya. Toh nggak ada Mas. Atau Mba Nat."

"Gue nggak habis pikir.. kok bisa Emily ninggalin Brian segitunya padahal Brian waktu itu tergila-gila banget sama dia. Kayak... kok bisa Emily malah pergi sama cowok lain.." komentar Kak Wiscaka melanjutkan.

Kak Saga menghela napas. "Gue bukan mau belain Emily ya, ini murni pendapat gue aja. Cuma gue nggak pernah ngomongin ini pas ada Brian."

"Kenapa emangnya, Bang?" tanya Donny.

Kukira ia nggak mendengarkan karena fokus menyetir. Namun rupanya ia juga ikut menyimak.

"Kalian tau kan, alasan utama kenapa Emily minta putus?" Kak Saga justru balik melempar pertanyaan.

Donny menggumam. "Gara-gara waktu Bang Brian tersita sama kita? Karena kita waktu itu lagi getol-getolnya ikut lomba?"

Kak Saga menggeleng. "Bukan."

"LOH BUKAN?" aku menimpali kaget. Pasalnya yang kudengar dari Mas Gi adalah demikian; bahwa Emily nggak bisa terima dengan kenyataan bahwa Mas Gi harus membagi fokusnya antara band, kuliah dan dia.

Kak Saga menggeleng lagi. Kak Wiscaka mengerutkan kening.

"Yah, bukan sepenuhnya salah sih. Emang Emily keluhannya paling sering ya soal waktu Brian yang habis di Sunday Borns. Weekdays kuliah, balik kuliah langsung ngeband, Sabtu Minggu kalau nggak ngeband lagi ya sering udah ada janji sama orang rumah. Waktu buat Emily kayaknya hampir nggak ada," Kak Saga membuka percakapan.

Aku memiringkan badan, menghadap belakang supaya bisa saksama saat mendengarkan.

Donny menyolek pundakku, "Sayang, duduknya hadap depan aja. Nanti pusing."

Aku nyengir. "Hehehe, siap bosku."

"Terus, terus?" tagih Kak Wiscaka.

Saga angkat bahu, "Siapa sih, Cak, yang bakal ngira kalau Sunday Borns bakal sesukses ini? Nggak ada. Kita dulu gambling banget ikut festival ini itu, manggung sana sini, ngisi kondangan, ngisi event kampus, live music di kafe-kafe. Terus tiba-tiba ketemu produser, dan Sunday Borns berkembang segede ini. Siapa sih yang nyangka?"

"Emang sih. Gue sempet ditentang juga kan, sama bokap."

"Tuh," Saga sepakat. "Jadi sebenernya gue paham aja kalau Emily dulu sempat ngerasa kalau masa depan kita-kita ini masih gambling dan nggak jelas. Ditambah lagi, Brian yang makin hari makin nggak jadiin dia prioritas."

Kak Wiscaka manggut-manggut.

"Gue nggak tahu ya kalau kalian, tapi Emily emang dulu sempet cerita banyak ke gue. Curhat, ngeluhin Brian. Masa iya, enam bulan terakhir itu Brian nggak punya waktu pribadi buat kencan berdua sama Emily. Selalu di tempat ngeband. Itu pun, Emily cuma duduk aja. Brian tetep sibuk sama kita..." lanjut Kak Saga.

Aku melirik Donny. "Emang iya? Kok aku nggak pernah dengar yang versi ini?"

"Mungkin memang iya. Aku nggak begitu memperhatikan, sibuk skripsian, sibuk ngedeketin kamu, sibuk banyak hal. Nggak ada waktu buat perempuan lain," Donny nyengir dan langsung dibenarkan oleh Kak Wiscaka.

SHEETS AND STREETSWhere stories live. Discover now