DUA

115 29 58
                                    

Abim mengelus pipi kanan nya yang memerah, membuat Tio terkikik geli melihatnya.

Mereka ber-empat duduk saling berhadapan di meja bulat di depan kafe. Alasannya sudah jelas, kan?

"Ini cewek ngapain sih ngeliatin gue mulu?"

Abim mendengus, membuang muka ke arah Tio.

"Si Dewi cakep juga, lumayan kalau bisa gue gebet."

Tio tersenyum simpul, membuang muka ke arah Abim.

"Ehm!"

Dewi berdehem agak keras, sengaja agar kedua cowok di hadapan nya berhenti melakukan gestur-gestur aneh.

"Pertama," Dewi berujar.

"Kenalin, ini temen gue namanya Kartika Sari. Panggilan nya Tik-"

"Nggak tanya." Potong Abim cepat.

Brak!

Abim dan Tio menegakkan tubuh, kaget.

"Udah Tik, sabar. Malu dilihatin orang." Dewi mengelus punggung teman berkacamata nya.

"Gila lo! Lo mau bikin gue bonyok?" bisik Tio menyikut Abim agak keras.

"Ehm, oke ... Kalian bisa panggil dia Tika," imbuh Dewi mencoba merilekskan suasana.

Jujur, ia juga terpukul mendapat detail kematian sahabatnya dari orang lain.

Apalagi, orang lain itu adalah Abim yang belum genap satu jam ini ia kenal. Dewi sangat penasaran.

"Kaca mata," gumam Abim lirih.

"Kedua, gue sama Tika cuma pengen tahu soal Siska kok."

Abim mengangkat sebelah alisnya, mengejek.

"BODOH!" Gerutu Dewi dalam hati. Ia sudah berusaha keras membujuk Tika untuk sedikit bersabar. Dan kini, Abim mengacaukan segalanya.

"Lakuin apa yang lu mau, Tik."

Tio terlonjak saat dengan cepat tangan Tika menarik kerah seragam Abim. Tio panik, Dewi sudah pasrah dengan adegan yang akan berlangsung.

Tika menajamkan pandangan nya dari balik kaca mata merah modisnya, dan Abim?

Abim masih santai dengan wajah datarnya.

"DENGER YA! NGGAK USAH SOK-"

"Oke, gue tahu." Potong Abim, melempar senyum ramahnya dan melepas cekalan Tika dengan lembut, dan dengan gerakan tangan yang ia buat-buat.

"Lebay!" Batin Tio, memutar bola mata jengah.

"Intinya kalian penasaran, gimana gue bisa tahu tentang Siska." Abim mrnyeringai, Tika mengepalkan kedua tangan nya.

"Gue nggak bisa cerita banyak. Tapi gue mau nanya dulu sama lu berdua." Abim menautkan kedua tangan nya di atas meja.

"Pernah nggak, Siska bawa-bawa dupa, bunga melati, menyan atau apapun yang berbau mistis?"

Dewi dan Tika saling pandang. Mereka berdua tahu benda-benda apa yang Abim sebutkan, tapi apa hubunganya dengan Siska?

Sangat tak masuk akal!

"Pernah denger Siska nembang?  nyanyiin lagu-lagu jawa?" Tio memandang Abim heran.

"Ini beneran Abim?"

Ya, Tio sangat heran. Pasalnya Abim jarang sekali bersikap se serius ini.

"Jadi, kalian nggak pernah denger atau nggak pernah tahu?" tebak Abim, Tika dan Dewi mengangguk bersamaan.

"Apa hubunganya sih, Bim?" tanya Tio penasaran. Abim menoleh sedikit ke arah temannya.

"Apa yang bakal lu pikirin, kalau liat cewek berdiri sendirian di pojok kuburan, TENGAH MALEM?" Abim menegaskan kalimat terakhirnya. Membuat Tika dan Dewi membulatkan mata.

Tio menahan nafasnya, suasana sore ini begitu sunyi baginya, hawanya juga terasa dingin di kulit.

"Gue lihat dia," lirih Abim. Tio meneguk liurnya susah, begitu juga dengan Tika dan Dewi.

"Gue lihat hampir semuanya." Tatapan Abim menerawang, mengingat kembali kejadian 48 jam yang lalu.

"A-apa yang lu lihat?" tanya Tika yang sudah tak bisa menahan rasa penasaranya.

"Siska. Gue lihat Siska nembang di pemakaman Cempaka Putih."

Dewi mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

"Cempaka Putih?!" Batin Dewi tak percaya.

"Itu jauh banget dari rumah Siska!"

Abim mengangguk, membenarkan pernyataan Tika.

"Menurut lu, apa yang dilakauin cewek cerdas, juara pararel tiap semestet kayak Siska. Ngelakuin hal-hal ganjil, bikin pocong-pocongan, Dupa kembang 7 rupa sama kain kafan?"

Tio mengusap tengkuknya, perasaanya tak enak sejak diskusi mereka beranjak ke topik tentang Siska.

Berkali-kali Tio menoleh ke belakang, ia merasa seolah ada seseorang di belakang mereka.

TIDAK!

Lebih tepatnya di belakang Abim.






"Yuk pulang," bisik Tio tak tahan.Abim mengangguk dengan senang hati.

"Oke, kita lanjutin game konyol itu. Tapi di rumah elu aja."

Tio mengangguk setuju. Tio merasa akan sulit tidur malam ini jika sendirian.

Abim beranjak mengekori Tio, ia sedikit menoleh ke arah Tika dan Dewi yang masih sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri.

Abim merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kalung lusuh berbandul keris kecil berwarna perak.

Ia memakainya tanpa sepengetahuan Tio yang berjarak tiga langkah di depannya.

Menghirup udara dalam-dalam, lalu tersenyum kecut. Merutuki banyaknya hal yang ia rahasiakan.

Hujan Darah (PINDAH KE DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang