PROLOG

64 7 2
                                        

.

.

Kenya meletakkan kepalanya ke atas meja, kelas menjadi ramai karena para guru tengah rapat sekarang. Memejamkan kedua matanya saat suara teriakan teman sekelasnya membuat kedua gendang telinganya sakit.

[Para kunyuk ini hanya menghabiskan uang mereka dengan hal yang tidak berguna.]

Kenya menghela napasnya, kelas ini terlalu berisik untuk membaca novel. Untuk mendengarkan musik juga tidak berguna, menaikkan volume sampai seratus hanya akan merusak gendang telinganya.

Ting!

Kenya menegakkan tubuhnya, mengambil ponselnya yang ia letakkan di laci meja. Kembali menghembuskan napasnya saat membaca notifikasi dari Nathan-- pemuda tampan yang menjadi status kekasihnya.

From : Nathan
Bisakah kita bertemu sepulang sekolah nanti ditempat biasa? Ada sesuatu yang mau aku bicarakan.

Kenya mematikan ponselnya lalu kembali memasukkannya ke dalam tas.
"Ken! Kenya!!" Panggil Andin yang merupakan bendahara di kelas, mendengar namanya dipanggil membuat Kenya menoleh ke belakang.

Andin duduk di bangkunya yang ada di barisan keempat, sedangkan Kenya berada di barisan kedua.
"Ken, kapan kamu membayar kas kelas? Jangan lupa setelah pelajaran matematika kamu harus ke kantor. Ada yang mau dibicarakan katanya."

Kenya hanya mengangguk paham, kembali pada posisinya ia membuka bukunya. Teman sekelasnya sibuk bermain ponselnya, ada yang berlarian ke sana kemari, juga memilih bergerombol untuk membicarakan tentang barang branded.

[Mereka hanya orang bodoh, terlalu berisik.]

Kenya kembali mengerjakan soal dari buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah, mengerjakannya di kertas hvs. Sampai Jina datang menghampiri mejanya dan berjongkok menyamakan tinggi untuk berbicara empat mata.

"Ken, kamu tahu kalau aku tidak begitu paham materi limit 'kan?" Kenya hanya menatap Jina yang memasang wajah memohon padanya.

[Bukannya tidak paham, kamu terlalu bodoh untuk mengerti materi limit.]

"Bisakah kamu mengajariku materi itu? Bagaimana dengan matriks?" Kenya hanya membuang wajahnya kearah lain, membuang napasnya jengah.

[Sudah kuduga, mereka hanya datang kemari hanya untuk membuang waktu dan uang mereka.]

Kenya memaksakan senyumannya, menatap Jina yang masih menunggu jawabannya.
"Seharusnya kamu paham materi itu, bila kau bisa naik ke kelas ini." Kenya segera merapikan bukunya, memasukkannya ke dalam tas dan pergi meninggalkan kelas yang masih ramai itu.

Membuat Jina yang mengepalkan jari-jarinya menahan emosi, matanya berair ia hapus secara kasar.
"Orang itu sangat kasar!" Keluh Jina membuat Mila yang duduk di seberang Kenya mendengarnya.

"Ada apa Jin? Kenapa kamu nangis?" Sedikit heran saat melihat Jina yang merupakan keponakannya Bu Andri--guru mata pelajaran sejarah menangis.

"Kamu tahu betapa sombongnya Kenya? Dia mengatai ku bodoh hanya karena aku bertanya soal padanya." Adu Jina membuat Mila mengangguk mengerti.

"Kamu seharusnya tahu, teman sekelas tidak ada yang menyukainya. Ucapannya kasar, dia sangat egois, sudah miskin pelit pula." Tambah Mila membuat Jina terdiam sebentar.

"Kamu tahu dari mana kalau Kenya miskin? Bagaimana bisa teman sekelas tidak menyukai Kenya?"

"Aku pernah satu kelas dengannya saat sekolah menengah pertama dulu. Lagipula sama sepertimu aku tidak menyukainya karena sifatnya yang menjengkelkan. Banyak rumor tentangnya, asal kamu tahu!" Jina tersenyum mendengarnya.

"Benarkah? Memangnya apa saja rumor yang beredar?"




***

Matahari nampak bersembunyi dibalik awan, cuaca memang akhir-akhir ini sulit untuk ditebak. Kenya hanya berdiri di depan pintu ruang guru, sedikit bimbang mengingat ia belum membayar SPP dan uang gedung selama tiga bulan ini.

Ceklek...

Kenya sedikit terkejut saat pintu terbuka dari dalam, bukan hanya itu tapi keberadaan Nathan yang membuatnya sedikit heran.

Bukan hanya Kenya yang terkejut, tapi Nathan juga sama dengannya. Pemuda itu hanya diam, bingung harus melakukan apa saat melihat Kenya yang ada di hadapannya.
"Kenapa kamu ada di sini?" Pertanyaan Kenya inilah yang Nathan hindari.

Kenya mengangguk mengerti saat menyadari keterdiaman Nathan. Ia sudah menjalin hubungan selama enam bulan, jadi ia sudah hafal sikap Nathan.

Berpikir positif? Nathan adalah anak yang baik, ia tidak akan dipanggil oleh bapak ataupun ibu guru. Dan juga Nathan selalu membayar uang sekolah lebih awal, mengingat kehidupannya yang jauh lebih baik. Kenya segera menarik tangan Nathan untuk menjauh dari ruang guru, hanya mencegah hal-hal dari kemungkinan terburuk.

Sampai akhirnya Kenya menghentikan langkahnya tepat di samping bank sampah. Tempat yang sepi dikunjungi oleh para siswa, Kenya melepaskan tangannya yang menarik Nathan sampai disini.
"Kenapa kamu melakukannya? Kamu pikir aku tidak akan tahu?"

Ini yang Nathan coba hindari, semua perkataan Kenya terlampau pedas untuk ia dengar. Ia tidak bisa melarikan diri untuk saat ini, jangankan melarikan diri untuk menghindari tatapan tajam Kenya saja mustahil.

"A-aku hanya mencoba untuk membantu__"

"Membantu apanya? Berpikir bantuan mu ini membuatku senang? Tidak akan." Nathan menundukkan kepalanya, ia ragu saat ini hingga ia memilih untuk membuang wajahnya kearah lain saat tatapan Kenya membuatnya gugup.

"Kamu pikir aku tidak bisa mendapatkan uang? Tidak usah ikut campur dalam kehidupanku, begitupula demikian." Kenya langsung pergi dari sana meninggalkan Nathan yang diam menatap kepergian Kenya.



















Aku harap kalian paham dengan karakter Kenya.

Jangan lupa untuk vote dan komentar.

Ini pertama kalinya aku membuat teenfiction.

Sebatas StatusWhere stories live. Discover now