Degup Pertama

12 3 2
                                    

Melihat beberapa temanku pulang dengan pasangannya membuat aku berpikir sejenak.

Aku juga ingin punya pacar!

Tapi mustahil, setiap pulang ke rumah aku harus belajar. Akhir pekan aku selalu dirumah. Gimana aku bisa dapet pacar kalau ketemu laki-laki saja aku jarang. HUHU.

"Lu!" Aku melompat kaget ketika seseorang menepuk bahuku dari belakang.

"Kak Bima? Astaga kaget tadi."

"Eh, maaf kalo ngagetin." Ucap Kak Bima sambil tertawa kecil. "Kenapa belum pulang? Tunggu dijemput?"

"Nggak, Kak. Aku pulang naik angkot."

"Yaudah bareng aku aja, kan turunnya barengan." EH? Bingung harus gimana, ini pertama kalinya aku pulang bareng laki-laki selain abang angkot.

Akhirnya aku pun pulang naik angkot bersama Kak Bima.

Selama diangkot aku hanya bisa diam. Mau buka percakapan tapi bingung apa topiknya. Kalau cuma diam-diaman begini juga aneh.

"Bentar lagi UAS, kamu gimana persiapannya?" tanya Bima memecah diam diantara kami.

"Ya belajar biasa aja, sih. Cuma agak susah karena aku nggak bimbel, jadi nggak ada yang bisa ditanya-tanya." Jelasku menceritakan keresahanku.

"Kamu nggak bimbel? Tapi kata Tante Dini kamu selalu masuk lima besar." Raut wajahnya yang menunjukkan keterkejutan dan rasa penasaran itu membuatku tertawa.

"Kenapa ketawa?"

"Haha—nggak apa-apa. Ya aku selama ini belajar sendiri aja, soalnya males aja kalau harus ikutan bimbel yang biasanya sampai malem. Kak Bima gimana persiapan UN-nya?"

"Persiapan UN udah lumayan, cuma masih khawatir SNMPTN aja. Makanya jadi harus siap-siap belajar buat SBMPTN juga."

"Kak Bima mau masuk univ mana emangnya?" Tanyaku yang memang penasaran, kali-kali aku bisa masuk universitas yang Kak Bima tuju juga.

"ITB. Kalau kamu?" jawab Kak Bima mantap. Hiks univ impian Kak Bima menjadi agak mustahil untukku yang tidak sepintar dia.

"Mana aja yang penting PTN hehe. Semangat ya, Kak."

"Iya, kamu juga." Aku hanya menimpali dengan senyuman. Tidak terasa angkot yang kami naiki sampai di komplek perumahan kami, aku pun bergegas turun dari angkot.

Kak Bima berjalan di depanku. Entahlah, aku nggak mau berjalan di sebelahnya jadi aku putuskan berjalan di belakangnya saja. Tapi yang aku bingung Kak Bima berjalan menuju rumahku dan bukan rumahnya.

"Kak! Kenapa nggak langsung belok pulang kerumah Kak Bima?" tanyaku.

"Dan biarin kamu jalan sendirian?" EH? Maksudnya?

"Aku juga biasa jalan sendiri, kok."

"Yah rumahku juga deket, kok. Jadi antar kamu dulu aja. Sini jalannya deketan, kalo kamu dibelakang terus diculik, kan aku nggak tahu." Candanya sambil tertawa.

"Siapa juga yang mau culik anak kayak aku."

"Udah sini!" ucap Kak Bima sambil menarik tali tasku dan membuatku berjalan disampingnya.

Tunggu. Kak Bima cuma menarik tali tasku, tapi kenapa rasanya pipiku memanas ya?

Astaga Kak Bima! Jangan begini! Jangan bikin aku deg-degan. Aku takut kalau berjalan disebelahnya begini, terus dia bisa dengar detak jantungku yang berisik ini.

Setelah berjalan beberapa saat, kami pun sampai dirumahku.

"Makasih, Kak. Udah diantar sampai rumah. Hati-hati, Kak." 

"Iya, sama-sama." Ia masih berdiri didepan pagar rumahku.

"Lu!" panggilnya tiba-tiba sehingga aku tidak jadi masuk kedalam rumah.

"Ya, Kak?"

"Oh iya, kamu bilang nggak bimbel. Kalau kamu mau tanya sesuatu atau butuh diajarin kabarin aku aja."

"Serius, Kak? Tapi Kak Bima lagi sibuk persiapan ujian-ujian juga, kan?" Tanyaku memastikan tapi juga nggak berharap ia akan berubah pikiran mengenai tawarannya.

"Serius. Nanti kalau kamu juga butuh persiapan SBMPTN juga aku mau bantu, kok."

"Makasih banyak, Kak. Makasih banget banget banget!"

"HAHAHAHAHA! Lucu banget kamu. Iya sama-sama."

Dari jarak sejauh ini Kak Bima nggak bisa mendengar degup jantungku, kan?

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Apr 04, 2020 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

In Time With YouDove le storie prendono vita. Scoprilo ora