♧ Part 01 : Chaos ♧

30 5 0
                                    

Naas, bukan ayah yang mendatangiku. Melainkan seseorang yang memiliki sosok tinggi besar dengan tato khusus pada wajah dan seluruh tubuhnya, anting khas suku Boda di telinga sebelah kiri, deretan gigi tajam saat ia menyeringai memandangiku ketika membungkuk. Jujur, aku merasa ketakutan. Kesialan apalagi ini?

Aku kembali mencoba berteriak untuk kedua kalinya, tapi tenggorokanku tercekat. Rasa takut yang kualami mendadak berlipat ganda dan sekujur tubuhku membeku.

"Cantik."

Pria mengerikan itu membelai pipi kiriku, bergerak selembut mungkin meski kulit ari jemarinya yang kasar dapat kurasakan saat aku memejamkan mataku. Tanpa kusadari aku melenguh, membuat sosok dihadapanku kian terkekeh.

"Jadilah istriku."

Suara parau darinya menggelitik gendang telingaku. Aku bergidik ngeri sampai menelan ludah pun rasanya sangat susah. Kedua alisku bertaut menahan takut.

Tenggorokanku tercekat, ingin rasanya meneriakkan kata tidak dengan lantang namun apa daya nyaliku tak mampu bertahan. Kedua tanganku berusaha menjauhkan wajahnya dariku, nafas baunya membuat perutku bergejolak.

'Siapapun, tolong aku!'

"Ada apa, cantik?" Tanyanya seraya memelukku.

Kedua tanganku berusaha susah payah menolak pelukannya yang kian erat itu, hingga pada akhirnya perjuanganku membuahkan hasil. Wajah penuh tato khasnya tersebut menampilkan raut tak suka akan perbuatanku.

Selang sedetik berikutnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Saat itu juga, telapak kananku terasa perih dan nyeri seolah kebas. Ia mundur beberapa senti dalam keadaan terkejut.

"Jangan..." ucapku lirih.

Pria itu menggeram lalu bergerak maju untuk mencengkeram leherku. Sayang sekali, refleksku jauh lebih cepat darinya. Keberanianku mulai timbul.

"Kurangajar!" Teriaknya garang.

Aku berguling dengan cepat ke arah kiri, menjauh darinya, kemudian bangun dan bergegas mengambil tongkat tak jauh dari tempatku berada.

Aku tahu pasti pria itu sekarang ini marah besar, tapi aku tidak perduli. Bagaimanapun caranya aku harus cepat keluar dari sini dan segera menemukan ayahku.

"Kamu... kamu lah yang sudah kurangajar padaku!" Balasku sengit dengan suara sengau.

"DIAM!"

"Aku tidak akan diam, kamu sudah jahat padaku!"

Aku mulai melakukan kuda-kuda bertarung seperti yang sudah diajarkan oleh pamanku, aku harus yakin dan bisa. Jika tidak, aku mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan ayah lagi.

Tubuh besar si pria menjulang semakin tinggi saat ia berjalan mendekatiku perlahan. Peluh mulai mengalir dari ujung leherku.

'Astaga... apa semua suku mereka memang berbadan tinggi besar seperti itu? Bagaimana ini?'

Sikap siaga terus kupertahankan, hingga akhirnya pria Boda itupun meneriakkan sesuatu dalam bahasanya sambil maju menerjangku ditengah-tengah kobaran api yang terus saja seenaknya melalap bagian rumah kami.

Aku mulai mengayunkan tongkat, berharap bisa setidaknya mengenai bagian vital di samping kepala, tapi harapan itu pupus saat ayunanku melenceng beberapa senti dan hanya mengenai ujung pelipisnya.

"Cantik... tapi lemah..."

'Sial! Sial! Sial!'

Aku merutuki keadaan yang ada sementara pria gila di depanku kembali menerjang kedua kalinya setelah sebelumnya sempat menghentikan langkahnya sebentar untuk merasakan sedikit luka menganga dari pelipisnya.

Kuayunkan tongkat yang kupegang secara horizontal dan dalam jeda 0,01 detik kuarahkan ke atas untuk menyerang rahang bawahnya dengan kekuatan penuhku, setidaknya aku mengerahkan seluruh tenagaku pada serangan ini.

Pria itu lalu membuang nafas kasar sembari mengelak dari seranganku, dan ia berhasil. Kemudian tangan kanannya mencengkeram leherku, erat.

"Mati kau."

Aku mengerang kesakitan, tenggorokanku tercekat, nafasku seolah terputus. Mulutku menganga tanpa sadar mencari udara, tapi gagal.

Ia mengangkatku ke atas sembari masih terus mencekikku tanpa ampun, sampai tongkat yang kupegang terjatuh.

Kedua kakiku berontak menendang bagian tubuhnya, kedua tanganku mencakar tangan dan pergelangan kanannya, namun pria mengerikan itu sama sekali tak bergeming.

Hingga pada akhirnya, saat pandanganku mulai memburam karena airmata yang menggenang, sesuatu terjadi. Pria dari suku Boda itu tiba-tiba saja terjatuh dan membawaku ikut ambruk bersamanya.

Beruntung, kepalaku tak membentur lantai tanah yang keras. Hanya bagian samping kiri seluruh tubuhku, ya... hanya itu. Cengkeramannya terlepas dari leherku. Aku terbatuk-batuk sambil sesekali menghirup nafas panjang dan pendek bergantian.

"Alemya..."

'Siapa?'

Masih dalam kondisi setengah batuk,  airmata yang mengalir dan nafas tersengal, aku mendongak seraya memegangi leherku ketika aku perlahan membangunkan badanku dari posisi tidur.

"Ayah..." rintihku.

"Jangan bicara dulu sekarang, bisa berdiri?"

Aku mengangguk sebagai tanda setuju, lalu menjulurkan tangan kananku menerima uluran tangan kanan ayah. Setelahnya ia membopongku keluar dari rumah kami yang kian terbakar parah dan dari sudut mata kiriku, aku melihat kepala si pria menakutkan tersebut sudah tak lagi berada di tempatnya.

Tepat saat kami berdua keluar, rumah  di belakang kami itupun ambruk dengan suara derakan yang tak kecil namun kalah oleh teriakan-teriakan di sana sini.

Banyak korban bergelimpangan baik dari suku Badosh dan Boda, itulah yang nampak jelas ketika kedua netraku tak lagi mengabur.

Kini keadaan sungguh sangat kacau, aku sendiri tak tahu harus bagaimana dalam keadaan seperti ini. Setidaknya aku sudah bersama ayah, mungkin akan kulakukan apa yang kubisa untuk membantu mengurangi beban.

"Ayah..."

"Alemya, jangan takut... ayah ada disini."

"Aku tahu, tapi untuk sekarang apa tidak sebaiknya kita mundur? Banyak yang terluka, ayah."

Sosok kebanggaanku itu tersenyum, ia kemudian menurunkanku dari bopongannya perlahan dan masih terus menahan beban tubuhku sampai ia yakin aku sudah bisa berdiri stabil menapak tanah.

"Mundur? Ini tanah kelahiran kita nak, ayah tidak akan mundur."

Aku terdiam karena jiwa patriotisme ayah tengah membara, ia tak bisa dinasehati kalau sudah menyangkut masalah urusan negeri Somnambula.

Helaan nafas panjang keluar dari mulutku yang sedikit membuka, akan kuturuti kemauan ayah, aku percaya padanya.

"Ayah, aku akan membantu mengungsikan para anak-anak dan para wanita terlebih dulu, setelah itu aku akan membantu yang terluka."

Ayah membelai pucuk kepalaku, ia mengangguk.

"Anak pintar, dan jangan sampai terlibat dengan perkelahian, ayah tidak ingin kamu terluka."

"Baik... sampai jumpa, ayah."

Jawabanku mengakhiri perjumpaan kami, dimana itulah kali terakhir aku melihat ayah.
↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭
TBC •••

Bad 'Luck'y Princess X Cursed PrinceWhere stories live. Discover now