Satu

164 39 70
                                    

Alya menatap wajahnya di cermin depan sana. Sambil sesekali merapihkan rambutnya. Gadis itu terdiam cukup lama di depan cermin. Meneliti satu per satu benjolan kecil di sekitar wajahnya. Sial! Ada satu jerawat besar tumbuh tepat di dahinya. Padahal Alya sudah mengoleskan minyak zaitun di tempat itu. Berharap semoga benjolan kecil yang akan tumbuh menjadi jerawat itu mengempis atau bahkan hilang. Sayang seribu sayang, ia malah tumbuh lebih besar.

"Alya, Alya. Udah rambut kamu lepek, badan kecil, berisi, buluk, jerawatan lagi. Heran, nggak ada cakep-cakepnya jadi cewek," ucapnya lirih.

Gadis itu kembali menghela napas, sedikit lebih kasar. Sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti bercermin.  Beralih pada membereskan buku-bukunya. Memastikan tidak ada satu pun buku yang tertinggal. Mengecek juga apakah novel yang ia pinjam di perpustakaan kemarin berada dalam tasnya. Setelah merasa semuanya lengkap, ia melangkahkan kakinya keluar kamar.

Alya berjalan lebih pelan sembari menundukkan pandangan. Di meja makan sana, keluarganya lengkap berkumpul. Bercanda bersama.

"Muka kamu kenapa? Pagi-pagi udah mendung aja." Sang ayah menatap heran putrinya yang terlihat lesu pagi ini.

"Lagi jerawatan tuh, Yah! Bete dia." Kakaknya juga ikut menimpali seraya tertawa pelan.

Alya hanya diam saja. Tak ingin terlihat lebih lanjut atau ia akan menjadi bahan tertawaan sepanjang sarapan. Itu sangat tidak menyenangkan. Meskipun kakaknya hanya bercanda, tapi tetap saja itu tidak menyenangkan. Alya tak suka candaan menyinggung fisik. Apalagi menyangkut wajahnya yang buruk rupa ini.

"Abang nggak usah diterusin, sarapan dulu. Nanti telat." Bundanya mengingatkan. Sang kakak langsung terdiam, menyantap khidmat sarapan yang terhidang di depannya.

Alya masih diam saja, tak banyak bicara. Berusaha sebisa mungkin menandaskan sarapan yang sudah susah payah bunda buat. Bukannya Alya tak mau memakannya, moodnya terlanjur jatuh sejak bangun tidur. Membuat nafsu makannya juga ikut menurun.

Beberapa menit berlalu, Alya membantu bunda membereskan sisa sarapan. Membawa nampan berisi piring-piring kotor tanpa banyak bicara. Bunda yang tahu mood sang gadis jelek, tak ingin bertanya lebih lanjut. Sudah pasti itu dikarenakan jerawat yang baru saja tumbuh di dahinya. Walaupun begitu, bunda berusaha untuk membuat perubahan pada wajah sang anak. Sudah berbagai macam produk kecantikan ia jajalkan pada Alya. Bukannya membaik, malah membuat wajah Alya semakin berantakan. Mungkin karena itu, Alya memilih menyerah dan membiarkan begitu saja wajahnya yang masih tak karuan.

"Mau ikut Bunda, nggak? Ke dokter kulit? Biar jelas masalah kulit wajah kamu itu di mana?" Bunda kembali mencoba membujuk Alya melakukan perawatan.

Alya yang saat itu tengah mencuci piring, menghentikan kegiatannya. "Daripada Bunda buang-buang uang buat perawatan yang hasilnya udah jelas bakal kayak gimana, mending disimpen aja. Siapa tahu suatu saat dibutuhkan."

Alya kembali menolak tawaran Bunda. Bukannya tak mau, ia hanya terlalu ragu. Segala macam produk sudah ia coba dan hasilnya sama saja. Alya tak ingin membebani kedua orang tuanya hanya karena masalah wajah ini. Lagipula siapa yang akan memandang wajahnya? Tak ada. Jadi biarlah tetap seperti ini.

"Ya udah. Asal jangan lupa--"

"Wajahmu harus tetap bersih. Sarung bantal diganti seminggu sekali. Cuci muka sehari dua kali. Sebelum tidur pakai pembersih wajah. Aku udah hafal, Bun," katanya seraya terkekeh.

Bunda tertawa kecil. "Asal wajahmu bersih, nggak pa-pa. Lain kali Bunda bujuk lagi, siapa tahu kamu bakal khilaf."

Alya tertawa pelan, kemudian melanjutkan kegiatannya. Masih ada waktu 15 menit sebelum berangkat. Ia harus bergegas.

***

Alya melangkahkan kakinya perlahan setelah mengucap salam. Kelas masih dalam keadaan kosong, tanpa penghuni. Selalu seperti ini, Alya menjadi murid yang pertama kali datang ke kelas. Lantas beberapa saat setelahnya memilih pergi ke luar, ke perpustakaan. Untungnya perpustakaan sekolahnya ini selalu buka tepat pukul setengah tujuh pagi. Saat sekolah sedang sepi-sepinya. Saat murid baru muncul satu-dua.

Sembari menggenggam erat novel di tangannya, Alya memasuki gedung perpustakaan perlahan. Langsung menuju meja penerimaan, mencatat namanya di daftar kunjungan.

"Selalu menjadi yang pertama ya, Al?" Ray, penjaga perpustakaan yang baru saja bekerja selama enam bulan ini, menyambut kedatangan Alya.

Alya hanya tersenyum, sedikit merasa canggung.

"Nggak usah kikuk gitu, langsung masuk aja nggak pa-pa." Lagi, Alya mengangguk.

Kemudian melangkah, mencari tempat ternyaman meski nyatanya ia sudah menemukannya jauh-jauh hari. Alya duduk di dekat jendela-jendela besar, yang menampilkan berpuluh-puluh petak sawah agak jauh di depan sana. Pemandangan belakang sekolahnya. Matanya memandang sawah-sawah yang kini sedang menghijau itu sejenak, sebelum larut dalam deretan huruf. Membaca novel pinjaman sebelum bel berbunyi nyaring.

***

Gadis itu sampai di kelas dengan napas terengah-engah. Alya terlalu tenggelam dalam novel yang ia baca sampai-sampai lupa bel sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Untungnya Ray segera menyadarkannya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Alya berlari dari perpustakaan menuju kelasnya. Bahkan sampai lupa menalikan sepatunya dengan baik. Untung saja Alya tidak sampai terjatuh di tengah jalan tadi.

Melihat Alya yang datang dengan wajah tak baik-baik saja, seluruh teman kelasnya tertawa. Mungkin karena ini kali pertama mereka melihat Alya seperti ini. Wajahnya penuh peluh, napasnya tak beraturan, juga tali sepatunya yang tak terikat sempurna. Seperti habis dikejar hantu saja.

Untungnya nasib baik masih berada di tangan Alya, gurunya belum datang. Ya, meskipun harus ditertawakan seisi kelas. Tapi tak apa. Ia masih selamat kali ini, absennya bersih di mata pelajaran kali ini. Jangan sampai ada satu pun huruf A di absennya.

"Ndut, dateng dari mana? Habis dikejar anjing galak, ya?" Lagi. Seisi kelas menertawainya. Alya semakin menunduk, berjalan pelan menuju bangkunya.

"Bu Gendut otw! Duduk yang rapih!" Raja, sang ketua kelas menginterupsi tawa mereka.

Sesaat, kelas menjadi gaduh, semua sibuk merapihkan diri di tempat. Melupakan hal yang membuat mereka tertawa. Lelucon sesaat mereka usai sudah, bersamaan dengan wanita paruh baya bertubuh gempal memasuki kelas.

***

Alya menghela napas. Sebenarnya kejadian tadi sudah biasa ia alami. Menjadi bahan tertawaan lainnya juga sudah puluhan kali ia alami. Tapi tetap saja rasanya aneh. Tidak Alya tidak merasa sakit hati. Entahlah, ia merasa sedikit ... sedih mungkin.

"Eh, tau nggak? Kelas kita kedatangan murid baru. Cowok. Kata si Aurel anaknya ganteng, ya ampun."

"Eh, kamu serius? Mana ada orang kota mau sekolah di desa kayak begini? Ngaco, ah!"

"Ih, serius. Aurel kemarin lihat sendiri cowok itu lagi ngurus administrasi. Kayaknya sih, masuk sekolah mulai besok."

"Kamu tahu dia masuk kelas ini dari mana?"

"Ya, dari wali kelaslah. Aurel juga kan sekertaris, dia punya banyak informasi."

Alya yang mendengar riuh suara di bangku belakangnya hanya diam saja. Memilih fokus pada buku bacaannya. Sudah biasa saat jam kosong tiba, semua siswi berkumpul. Membicarakan apa pun yang menurut mereka menarik. Mulai dari produk skincare sampai cowok-cowok tampan dari berbagai negara, mereka bicarakan. Ya, walaupun kadang yang mereka bicarakan menarik dan berbau positif, sampai kapanpun Alya tak mau bergabung.

Alya tak ingin terlibat dengan berbagai macam bentuk hubungan. Alya tak bisa percaya pada siapapun. Juga tak bisa berteman dengan siapapun. Biarlah seperti ini saja. Setidaknya sampai satu tahun mendatang.

TBC

Madura, 010420

Because of YouWhere stories live. Discover now