Chapter 1

116 13 9
                                    

PRAANG!

Semua mata tertuju pada gadis berkacamata yang terduduk dengan noda ayam bakar dan jus mangga yang mengotori lantai dan seragamnya.

Tidak berusaha membersihkan apapun, ia hanya menunduk seakan kaget dengan apa yang baru saja dialami. Padahal ini bukan kali pertama baginya.

“Siapa suruh kau lewat sana? Kau mengotori pandangan ku.” gadis berambut ombre cokelat itu duduk santai di kursinya setelah menungkai kaki si gadis berkacamata itu.

“Sudah yang ke-lima kali dalam minggu ini. Ugh, tidakkah Cindy merasa bosan mengganggu anak baru itu? Kantin ini luas dan aku lelah melihat pertunjukkan yang itu-itu saja.” Geby menggerutu disampingku, dia melahap bakso di hadapannya dengan tidak semangat. 

“Jangan mengeluh pada ku, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.”

Memang benar, aku lelah berurusan dengan para pembully maupun korbannya. Bagaimana dengan mengadukan kejadian ini pada pihak sekolah? Yap, tidak ada gunanya.

Seluruh penjuru kantin ini diawasi oleh kamera CCTV, perempuan berambut cokelat bernama Cindy itu juga tidak bisa dihukum. Dia berprestasi, kaya raya dan berperan penting dalam pembangunan sekolah. Dia memiliki kekuatan untuk berlindung dari hukuman. Itu biasa dilakukan orang yang berkuasa, bukan?

Perlahan gadis berkacamata tadi bangkit, tidak mengatakan apapun dan langsung beranjak dari kantin. Sepertinya dia menuju ruang ganti putri.

Kondisi di kantin kembali kondusif. Semua orang menyantap makan siang masing-masing sambil bercengkrama. Begitupun aku, mie ayam yang ku pesan tadi sudah habis.  Aku menyeruput es teh manis andalan Buk Ani. Segelas eh teh manis biasa yang entah kenapa sangat enak di lidahku.

Aku juga sering menyeduh teh di rumah, tapi kenapa rasanya tidak seenak ini? Menyebalkan.

“Bagaimana persiapan pesta ulang tahun mu, Dyra?” Geby menyusun mangkok kotor kami ke tepi meja agar mudah diambil ibu kantin nanti.

“Tinggal memasang dekorasi di area kolam renang. Aku rasa besok semuanya sudah beres.”

“Aku tidak sabar datang ke pesta dan memakai gaun baru ku. Semoga aku bisa menggaet hati lelaki tampan, aku lelah dengan ke-jomblo-an ini.”

“Jangan hanya memikirkan lelaki khilaf untuk mu. Pikirkan juga apa kado yang akan kau berikan. Aku tidak menerima tamu yang datang dengan tangan kosong.” Aku mengingatkan.

“Ck, tenang saja. Aku sudah membeli kado untuk mu jauh-jauh hari. Dan berhenti mengatakan lelaki khilaf. Itu melukai harga diriku.”Geby menatapku sebal.

Tentu saja aku tidak akan menyakitinya, ia sahabat karib ku sejak sekolah dasar. Satu-satunya orang yang paham akan diriku. Aku menyayanginya.

“Hahaha, aku lupa kalau kau masih mempunyai harga diri.”

“Tutup mulut mu, Dyra. Aku sedang merajuk.”

Kami menghabiskan waktu istirahat dengan aku yang sibuk menggoda Geby. Itu sangat menghibur, sehingga aku tidak jadi mengantuk. Padahal, aku tadi merasa kekenyangan dan yakin rasa kantuk akan melanda.

***

Jam pelajaran setelah istirahat siang memang adalah saat dimana keyakinan kita untuk belajar diuji. Aku sangat mengantuk, dan sekarang adalah jam mata pelajaran fisika. Aku rasa kantuk ini datang karena aku bosan.

Baiklah, aku akui aku bosan karena memang aku tidak mengerti apapun.

Geby menyimak dengan penuh minat disebelah ku. Perlu ku beritahu bahwa dibalik perilaku idiot-nya, Geby adalah siswa yang mewakili sekolahku dalam Olimpiade Fisika dan selalu menduduki posisi tiga besar.

Edelsteine {Hiatus}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang