9. Wisuda

43 3 0
                                    

+Happy Reading+

Meira merias wajahnya di depan cermin, rambutnya yang disanggul semakin memperlihatkan bentuk wajahnya yang sempurna, beberapa anakkan rambut menghiasai dengan begitu lembutnya. Terakhir ia memoleskan lipstik berwarna coral dan menambahkan sedikit warna merah pada bibir bagian dalam—terlihat begitu cantik.

Ia mengenakan kebaya biru tua dan dipadukan dengan rok corak batik yang mengikuti lekuk kakinya, begitu anggun. Terlihat perutnya sedikit membuncit, tubuhnya berubah dengan drastis. Ia berharap tak ada orang yang memerhatikan perubahan perutnya itu—terlebih lagi keluarganya yang akan menghadiri upacara wisuda hari ini.

Pandangannya memburam, perasaannya tidak keruan saat mengingat wajah orangtuanya. Sangat menyakitkan. Jika orangtuanya mengetahui kabar ini, pasti mereka akan sedih dan kecewa. Anak yang selama ini mereka percaya ternyata telah berkhianat dengan merusak masa depannya.

"Maafin Meira, Ma, Pa," lirihnya, tak terasa air mata telah membasahi pipinya. Kemudian, ia menghapusnya perlahan agar riasan di wajahnya tidak pudar. Ia ingin terlihat sempurna pada acara sakral ini, meskipun hatinya hancur.

Suara ketukkan membuyarkan pikirannya, ia bergegas mengambil toga dan tasnya. Terlihat Javier dengan memakai jas rapinya berdiri di sana, senyuman tidak lupa mengembang sempurna, membuatnya menjadi sangat tampan.

Javier terpesona melihat Meira yang begitu cantik, namun ia tidak memperlihatkan reaksi tersebut. Ia belum lupa kejadian malam itu, jujur saja, ia masih marah dan kecewa pada Meira. Ia hanya tidak tega membiarkan Meira pergi ke acara seorang diri sedangkan orangtua dan adiknya menunggu Meira di sana.

"Vier ...,"

"Sepatu kamu mana?" Javier mengabaikan Meira yang menyerukan namanya.

Meira menatap Javier dengan tatapan bersalah, walau bagaimana pun Javier adalah orang yang ia sayangi dan cintai—sejak malam itu. Sentuhan bibir yang begitu lembut menyakinkan perasaannya yang sempat ia tolak mentah-mentah selama ini. Ternyata, perasaan itu bukanlah rasa sayang sebagai sahabat melainkan rasa sayang antara cewek dan cowok sebagaimana mestinya.

Cowok itu menerobos masuk ke kamar Meira, mencari sepatu yang akan dikenakan oleh cewek itu. Saat menemukan high heels yang telah disiapkan Meira, ia menggiring Meira untuk duduk di sebuah kursi, lalu ia berjongkok dan meraih kaki mulus cewek itu. Meira terperangah melihat aksi Javier yang tiba-tiba, pipinya menjadi merah seperti udang yang baru saja ditiriskan dari air mendidih.

"Sudah siap!" seru Javier seraya berdiri. Ia membungkuk dan menangkup wajah Meira, lalu sebuah kecupan hangat mendarat mulus di kening cewek itu.

Kali ini Meira tidak dapat berkutik, sekujur tubuhnya kaku seperti patung. Ia mengedipkan matanya beberapa kali berharap ia terbangun dari mimpi, tapi nyatanya Javier tetap di hadapannya dengan senyuman yang meluluhkan hati.

"Ra?" panggil Javier yang kesekian kalinya.

"Ya!" Meira nyaris berteriak, begitu sadar ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Javier terkekeh melihatnya—sangat menggemaskan.

"Mau wisuda atau nggak?" tawar Javier.

"M—maulah."

"Yaudah, ayo!"

***

Keramaian membuatnya semakin gugup, ia tidak dapat membayangkan jika ribuan pasang mata menatapnya dengan tatapan menjijikkan. Javier yang menyadari perubahan itu semakin menggenggam erat tangan Meira hingga melewati lautan manusia dan menemukan keluarga cewek itu.

"Om, Tante," sapa Javier begitu ramah.

"Eh, Javier." Wanita paruh baya memeluk hangat tubuh Javier yang jangkung.

MEIRAWhere stories live. Discover now