Bagian 1 : The Dreams

Comincia dall'inizio
                                    

"Semua itu, mimpi? Siapa laki-laki itu? Dan apa yang dikatakannya?" dia baru saja mengalami mimpi itu, tetapi wajah lelaki itu sudah samar di ingatannya.

Viona kembali menoleh ke kanan kirinya. Dia masih ada di penginapan yang disewa olehnya dan teman-temannya. Teman-temannya masih tertidur.

"Haaahh.." entah kenapa dia merasa lelah sekali. Seperti telah mengalami kejadian yang benar-benar menguras tenaga.

*****

Aku hanya ingin bisa mencintai dan dicintai dengan tulus. Aku hanya ingin dimengerti. Aku hanya tak ingin ditinggal sendiri. Hanya itu..

Indonesia, tahun 2019.

Dingin. Namun hangat. Ujung-ujung jemari kaki yang menyentuh permukaan air danau itu terasa dingin. Tetapi udara hangat mentari yang mulai beranjak naik, menyelimuti tubuhnya. Viona Kanzack, gadis muslimah berkacamata itu memperbaiki jilbab putihnya yang tertiup angin.

Saat dia membuka matanya tadi, dia merasa aneh. Entah kenapa dia ingin sekali duduk di dermaga danau yang luas ini. Padahal seumur hidup dia sangat takut dengan air yang tenang. Dia takut kalau kalau nanti muncul anakonda atau buaya besar seperti di film-film kesukaan papanya yang dia tonton saat kecil.

Tapi pagi ini, dia pergi sendiri ke danau belakang penginapan yang dia dan teman-temannya sewa untuk liburan. Ya, teman-teman seangkatannya. Merayakan Naomi, gadis paling populer yang dilamar pengusaha kaya. Ah. Menikah. Baru saja dia merayakan ulang tahunnya bulan April ini. Kemarin lusa. Diumurnya yang ke-23 tahun ini, Viona masih ingin bermain-main. Dia masih tidak ingin dan tidak bisa mempercayai makhluk yang bernama laki-laki untuk menyerahkan seluruh kehidupannya.

Pagi ini sepertinya teman-temannya akan bangun kesiangan karena malam harinya mereka begadang. Mungkin pukul 10 mereka akan bangun. Jadi wajar saja lingkungan ini sangat sepi. Tapi dia tidak menyangka jika tiba-tiba kesunyian itu kemudian terganggu oleh bunyi teriakan dan suara roda yang melaju kencang di atas papan kayu dermaga.

"Kaaak!!!!! Tolong!! Tolong!!! Rem sepeda Adi gak mempan!!!" seorang anak laki-laki sekitar umur tujuh tahun terlihat panik di sepedanya. Viona sontak berdiri untuk mencegah sepeda itu jatuh ke danau di belakangnya. Tapi tidak mempan, kecepatan sepeda itu ditambah rem yang blong, membuat Viona malah terseret ke belakang.

Bagaimana ini... Aku tidak kuat!!!

BYURRR!!!

Viona jatuh ke dalam danau terlebih dahulu. Terlempar jauh dari dermaga.

Ya Allah bagaimana ini! Aku tidak bisa berenang... Air danau ini sangat dingin hingga membuatku menggigil. Air danau yang memasuki rongga hidungnya membuat hidungnya sakit, terasa panas hingga perih.

Viona berusaha menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Tapi percuma, dia tidak punya kemampuan berenang sama sekali. Air danau mulai menyumbat hidungnya, memenuhi mulut dan tenggorokannya, membuat matanya terasa perih. Kakinya tiba-tiba kram. Mati! Apa ini akhir hidupnya? Disini? Di tempat sepi tanpa siapapun? Tenggelam? Tenggelam karena terdorong sepeda anak kecil? Kenapa konyol banget akhir hidupku!

Viona tidak bisa lagi bertahan, air yang memenuhi hidungnya, membuat paru-parunya terasa ditekan. Sesak. Dia tidak bisa bernafas. Kacamatanya sudah hilang entah kemana. Buram. Dia hanya bisa pasrah sambil menatap cahaya matahari yang terlihat samar-samar di permukaan danau. Semakin jauh ia tenggelam, semakin deras suara gemuruh air, membuat telinganya tuli, suara yang didengarnya hanya suara melengking air yang membuat telinganya sakit. Dia merasa tak berdaya. Dingin. Dingin sekali hingga tulangnya seperti ditusuk seribu pedang. Paru-parunya perih sekali. Matanya sudah tidak kuat untuk dibuka.. Kesadarannya sedikit demi sedikit hilang. Ingatan-ingatan masa lalunya terpampang satu demi satu.

"Sudah berulangkali mama bilang, kamu itu anak perempuan! Tapi selalu melawan mama!"

"Tapi ma..!"

"Kamu memang anak yang suka melawan! Tidak tahu diuntung! Kerjaannya tidur terus! Kamu tidak pernah membantu mama, tidak pernah memikirkan mama! Mulai sekarang urus dirimu sendiri! Mama gak mau mikirin, kamu mau makan mau tidak, terserah!"

"Mama..." Air matanya menetes bercampur dengan air danau.

Dia memang bukan anak yang berbakti, dan tidak pernah pantas mendapatkan kasih sayang mamanya. Anak yang tidak tahu diri. Meminta maaf pun seperti tak ada artinya. Mungkin ini akhir yang tepat untuknya. Di sini, sendiri, dingin, tanpa ada yang tahu, tanpa bisa berkata maaf, tanpa bisa berkata selamat tinggal. Mungkin jika dia matipun dia tak akan pernah dirindukan. Dia menutup matanya. Membiarkan tubuhnya terseret sedikit demi sedikit ke dasar danau.

Lagipula apa yang aku takutkan, hidupku tak pernah memberi arti dan manfaat apapun pada orang lain. Dan tidak pernah ada seorangpun yang mengerti aku di dunia ini. Setiap kebaikanku tak pernah dianggap. Bukankah kematianku hanya mengurangi beban orang lain?

******

Mountains oF LiesDove le storie prendono vita. Scoprilo ora