Sent. Senyum tipis muncul seketika dia mengirim pesan tersebut. Suara lembut yang terdengar tadi membuat Arvin teringat akan Ibu dan keluarganya yang berada di Jepang. Memejamkan matanya sambil membayangkan momen kebersamaan mereka sebelum berpisah. "Kaa-san..."

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sinar mentari pagi mulai menyinari kamar bercat hijau itu melalui sela-sela jendela, diiringi oleh suara burung yang bersiul. Menyadari hal itu, dengan mata yang masih ingin terpejam, menatap jam yang terletak di meja belajar, "Ah untung hari minggu," pikirnya sambil kembali menutup matanya.

Namun, mentari justru semakin meninggi dan sinarnya semakin menjadi memasuki kamar itu, memaksa penghuninya untuk segera bangun. Tak ada pilihan lain, akhirnya dia pun bangkit dari tidurnya. Sembari berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih berkeliaran entah kemana, dia membereskan kasur dan pernak-pernik yang ada, sambil sesekali masih menguap.

Setelah itu, membuka tirai yang menutupi jendela kamarnya, membuat sinar mentari semakin menjadi menyinari seisi kamar. Menyadari hal itu, dia bergegas mematikan lampu yang terangnya sudah dikalahkan oleh terang si mentari.

Melintas di pikirannya sebuah ide, membuat senyum kecil muncul di wajahnya, dan langsung berlari ke kamar mandi untuk menghilangkan semua rasa kantuk dan malas yang masih tersisa.

Setelah selesai berganti pakaian, Gwen langsung bergegas menuju garasi rumah.
Mamanya yang menyadari bahwa putri semata wayangnya itu sudah turun dari kamar pun segera memanggilnya.

"Gwen, mau kemana? Kok udah rapi pagi-pagi."

"Eh, Mama ngagetin aja, mau jalan pagi ma, lumayan cuacanya lagi bagus." Jawab Gwen sambil tersenyum.

"Gak sarapan dulu? Mama mau bikin omelette loh," tawar mamanya dengan nada usil. Omelette adalah salah satu makanan kesukaan Gwen.

"Nanti aja deh, Ma, abis pulang jalan. Kan pasti capek terus laper tuh, jadi Gwen makannya lebih lahap," balas Gwen sambil tertawa. Mamanya pun ikut tertawa sambil mengangguk.

"Yaudah, hati-hati ya, jangan jauh-jauh," balasnya.

"Siap..." Gwen mencium tangan mamanya dan berpamitan, kemudian langsung bergegas kembali menuju garasi. Gwen langsung mengenakan sepatu olahraga favoritnya.

Setelah selesai, Gwen berjalan menuju halaman rumah dan melakukan pemanasan sebentar, dan melihat papanya sedang berkebun.

"Pagi, Pa," sapa Gwen sambil tersenyum.

"Loh, Gwen, mau kemana?" Papanya terkejut mendengar suara Gwen, tak kalah terkejutnya melihat sang putri sudah berpakaian rapi di hari minggu pagi. Dia langsung menghentikan kegiatannya sejenak.

"Jalan-jalan pagi bentar, cuacanya lagi bagus." Gwen melayangkan pandangan ke berbagai bunga yang ada di halaman rumahnya. Semua tertata rapi, dan juga terawat dengan baik.

Semua berkat sang papa yang hobi berkebun. Hampir setiap hari papanya menyisihkan waktu untuk merawat tanaman-tanaman tersebut. Baginya, mereka sudah seperti anak sendiri.

"Oh, sendiri? Apa sama pacar?" tanya papanya iseng, membuyarkan lamunan Gwen. Gwen langsung menatap papanya dengan salah tingkah. Yang ditatap malah tertawa melihat tingkah Gwen.

"Pa=pacar? Mana ada," jawab Gwen gugup. Gwen langsung bersikap biasa kembali dan bersiap berangkat sebelum papanya melanjutkan keisengannya.

"Gwen pergi dulu, Pa," pamitnya sambil berlari dan melambaikan tangan. Papanya yang masih tertawa melihat tingkah Gwen hanya menganggukan kepala.

Penyendiri Yang (Kadang) Benci SendiriWhere stories live. Discover now