Bab 31 Mari Bangkit

2.8K 157 0
                                    

Pemakaman Ibu sudah selesai 2 jam yang lalu. Langit masih menjatuhkan rinai kecil hujan. Menandakan bagaimana suasana hati Aina saat ini.
Ia masih duduk di kamar sambil membaca Al Qur'an. Ia sedang 'membunuh' kesedihan yang teramat sangat. Ustadz Nabil sedang sibuk membantu Ayah menerima tamu bersama keluarga yang lain. Abah dan Umi juga masih duduk di ruang tengah.

Umi meminta ijin Ustadz Nabil untuk menemui Aina yang sedang ada di kamar. Suaranya merdu, namun sedikit bergetar karena memori tentang Ibu hadir diantaranya.

Tok tok.
Bunyi ketukan Ibu sangat pelan. Ia pun memasuki kamar Aina. Umi lalu duduk di samping Aina. Membelai pundaknya. Seraya mengisyaratkan. Beban sedih itu hendaklah dibagi bersama. Aina berhenti membaca Al Qur'an. Ia menoleh ke arah Umi. Umi tersenyum.

Umi : "Tak mengapa. Kalo Aina ingin menangis, menangis saja. Manusiawi kehilangan Ibu pasti terasa sedih. Seperti Umi dulu kehilangan Ibu Umi."

Aina memeluk Umi. Ibunya sekarang tinggallah Umi seorang. Ia menyayangi Umi seperti ia menyayangi Ibu.

Umi : "Hidup akan terus berjalan. Ibu akan melihat Aina dan kita semua. Mari kita bantu Ibu dengan doa terbaik yang kita punya, nak. Kita harus sadar pula, kita pula akan menyusulnya. Kita akan berkumpul lagi, insya Allah."

Aina mengangguk. Ia menghapus sisa air matanya. Ia punya semangat yang besar. Kini ia mulai tersenyum. Ia punya Tuhan. Ia punya penghibur.

Aina keluar kamar. Ia dapati keluarga dan ketiga sahabatnya. Aina memeluk Lita, Lutfah dan Putri bergiliran. Mereka membesarkan hati Aina. Di pojok ruangan, ada Ustadz Nabil, Haikal dan Ayub sedang berbincang. Aina berbicara dengan ketiga sahabatnya. Sesekali ia berbicara dengan keluarganya.

Hari itu terlalu panjang menurut Aina. Ia harus keluar dari kesedihannya.

************

Sudah satu bulan sejak meninggalnya Ibu, Aina dan Ustadz Nabil berada di rumah Ayah. Aina menggantikan peran Ibu dalam mengurus rumah. Memang sudah jadi kebiasaan Aina. Tapi yang berbeda memang menerima bahwa tidak ada Ibu di tengah-tengah keluarga.

Pagi itu Aina menyiapkan sarapan seperti biasanya. Ada Ayah dan Ustadz Nabil di meja makan. Mereka sedang berbincang.

Aina : "Ayah. Pagi ini Aina mau pergi dulu ke pondok setelah itu lanjut kuliah. Ayah ditemani Mas Jun, ya?"

Ayah : "Gak apa-apa, nak. Seperti biasanya saja. Ayah juga sudah biasa sendirian. Nanti kan Aina pulang juga. Makanan juga ada. Pokoknya Aina kudu fokus ya sama kuliah. Jangan sampai terganggu. Biar bisa jadi Ustadzah."

Aina : "Yaa...  Ayah. Hahaha... Masih jauh."

Ustadz Nabil : "Padahal memang sudah dipanggil Ustadzah lho di pondok. Masak lupa."
Ustadz Nabil menggoda Aina.

Aina : "Karena mereka sungkan sama suami Aina. Lha masak yang punya pondok istrinya dipanggil mbak. Kan gak lucu?"

Ayah dan Ustadz Nabil tertawa bersama.

Setelah sarapan, Aina dan Ustadz Nabil pamit dan segera pergi ke Pondok. Ia lalu bergegas ke ruang Bimbingan Konseling. Aina dipercaya untuk menjadi pintu utama curahan hati para santriwati yang sedang ingin bercerita. Rindu keluarga, depresi, tidak nyaman dengan pertemanan dan hal lain sebagainya.
Ia duduk di kursi ruangan. Beberapa catatan sudah siap ia baca. Santriwati biasanya memasukkan catatan khusus di sebuah kotak. Catatan itu biasanya dibaca Aina terlebih dahulu. Sehari setelah para santriwati memasukkan catatan itu, mereka bisa bebas menemui Aina untuk bercerita. Bila tidak menemui solusi, maka jalur selanjutnya adalah menemui pembimbing Konseling. Para Ustadz / Ustadzah yang lebih berpengalaman. Aina didaulat menjadi jalur pertama karena umurnya tidak jauh berbeda dengan umur para Santriwati. Sehingga harapannya ia bisa memberikan dukungan moril yang lebih.
Aina tidak hanya mendengarkan cerita para Santriwati saja. Ia juga kerap bertukar pikiran dengan para pembimbing sebagai bekalnya menjadi pembimbing nantinya. Ini penting untuknya. Itulah mengapa ia ingin menjadi seorang Guru. Ia ingin lebih dekat dengan para santriwati secara luas. Tidak hanya sekedar memberikan ilmu. Tapi ingin membuat kenyamanan saat berada di ruang kelas. Membuat euforia yang baik di tengah-tengah para Santriwati yang jauh dari keluarganya.

Hal inilah yang pernah ia bicarakan dengan Ustadz Nabil sehingga Ustadz Nabil berani menawarkan posisi senior konsuling kepadanya. Sambil mengisi kegiatan harian agar tidak merasa bisan. Toh, Aina juga pada akhirnya akan menjadi istri Pemimpin pondok. Jadi mau tak mau ia belajar tentang seluk beluk kehidupan pondok. Ia sudah lulus menjadi santri, itu membantunya untuk memutuskan perkara para santriwati yang sedang dalam masalah.

"Aku sempat ingin bunuh diri."
X.2

Aina terkejut. Kertas terakhir yang ia baca luar biasa membuat ia tertegun. Gila. Mana ada Santriwati yang nekad ingin bunuh diri. Masalah apa yang ia hadapi? Ia bergegas memberitahu Ustadzah Ria yang berada di meja samping Aina.

Ustadzah Ria tak kalah terkejut.

Ustadzah Ria : "Gak ada namanya ya, Mbak Aina?"

Aina menggeleng.

Kelas X.2 memang hanya satu kelas. Tapi mencari di 38 anak bukanlah hal yang mudah. Ia memutar kepala.

Ustadzah Ria : "Begini saja. Menurut saya kita perlu memantau kelas X.2 secara khusus. Mbak Aina bisa melakukan pantauan saat mereka beristirahat. Lihat di dalam kelas siapa yang sering duduk di kelas. Lalu tempat mana yang biasanya sepi dan jarang didatangi. Bisa gudang, samping gedung Satya atau... Kamar mandi. Kita tanya pada salah satu santriwati siapa yang sering ijin meninggalkan kelas saat pelajaran."

Aina mengangguk dan segera pergi. Ia duduk di dekat ruang kantin pondok yang tak jauh menghadap kelas X.2. Aina masih bertanya-tanya siapa kira-kira menulis curhatan itu. Ia berpikir kenapa penulis menulis hal itu? Masalah apa yang ia hadapi?

Seseorang keluar dari kelas X.2. Ia lalu mengikuti seseorang itu. Dia ke arah kamar mandi. Aina mengikutinya. 10 menit berlalu. Santriwati itu tidak kunjung keluar. Aina mulai panik. Ia lalu menggedor pintu kamar mandi.

Keringat Aina mulai turun. Jangan-jangan...

Cekrek.

Santriwati tersebut keluar.

"Maaf, mbak. Susah buang air besar. Mau pake kamar mandi?", Tanya santriwati tersebut.

Aina kaget. Meleset. Aina menggeleng dan meminta maaf. Bukan anak ini.

Aina Kembali duduk di kantin.

Satu dua santriwati keluar kelas. Tapi ia tetap fokus pada kelas X.2.

Astagfirullah. Kalo bukan kelas X.2? Bisa jadi ia menulis kelas itu padahal bukan di kelas X.2.

Batin Aina tidak karuan.

Aina melihat kesana kemari. Matanya awas terhadap banyak santriwati.

"Mas, pinjem cutter sebentar.", Terdengar suara dari arah tempat fotokopi.

Mata Aina layaknya mata Elang. Ia segera mengikuti santriwati tersebut. Naas, di ujung loronga. Ia menghilang. Aina tak mau menyerah. Ia segera mencari kemana santriwati tadi pergi.

Aina menuju kamar mandi. Ia mendapati satu pintu yang tertutup.

"Aaargh...", Suara erangan kecil terdengar.

Ya Allah. Anak itu pasti.

Alangkah terkejutnya setetes darah terlihat dari bawah pintu kamar mandi.

Aina harus menolong sebelum terlambat.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz