Satu

32 5 0
                                    


.       .       .

"Fayo! Kamu bolos les Fisika lagi ya? Kemana aja kamu sepulang sekolah? Nggak belajar malah main-main nggak jelas," Mama menodongku tepat saat aku masuk ke pintu rumah.

Andai aku punya pintu kemana saja milik Doraemon, aku pasti tidak harus menghadapi ocehan Mama setiap hari. Tidak, aku tidak butuh setiap hari. Hanya hari ini saja, tak bisakah Doraemon meminjamkannya padaku?

"Maaf Ma," hanya itu yang kukatakan pada Mama. Lalu dia akan memulai ocehan yang lebih panjang berkali-kali lipat dari kalimat sebelumnya.

"Kok cuma minta maaf? Kamu kemana ini tadi? Apa sedang ada proyek sosial? Fayo, kamu tahu kan kalau nilai kamu harus bagus banget buat bisa masuk Yale University seperti Fano. Kamu nggak bisa main-main dengan waktumu. Kamu harus memanfaatkannya dengan baik, untuk menghasilkan nilai akademik yang fantastis, mencari pengalaman internasional, melakukan proyek-proyek sosial, mengambil kesempatan menjadi pemimpin. Tapi tadi Mama sudah cek ke teman-teman kamu di sanggar anak jalanan, katanya kamu juga nggak ada disana. Mama khawatir kamu nggak bisa meraih apa yang kakakmu raih. Katanya mimpi kamu, pengen kayak Fano?"

Seperti hari-hari sebelumnya, Mama akan memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku sesak. Dan aku akan berjalan setengah berlari ke kamarku, sebelum Mama menyadari bahwa aku gemetaran, nafasku memburu, dadaku sesak, dan kakiku menginginkan aku lenyap dari hadapan Mama saat itu juga.

"Fayo, jawab Mama. Oiya, hari ini pengumuman program AFS kan? Gimana? Kamu pasti lolos kan, Fayo?"

Kalimat itu muncul tepat saat aku menutup pintu kamarku, menguncinya, lalu menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Lagi-lagi, aku menangis. Itu adalah kalimat ultimatum yang aku sangat ketakutan akan mendengarnya, lebih dari apapun di dunia ini.

Yeah, hari ini aku ketakutan setengah mati untuk pulang ke rumah. Aku tidak lolos AFS, kalau kau penasaran kenapa. Itu hanya satu dari jutaan alasan lain. Karena sebenarnya tidak hanya hari ini aku menderita ketakutan berlebihan terhadap rumahku dan seisinya. Terutama Mama.

"Fayo? Kamu capek banget ya? Yaudah kamu istirahat dulu. Jangan lupa pe'er Sejarah kamu dikerjain ya? Oiya, belajar Fisika juga, katanya dua hari lagi ada ulangan kan? Kamu jangan sampai dapat nilai jelek, cuma gara-gara nggak ikut les privat hari ini," ujar Mama dibalik pintu kamarku.

Siapa sebetulnya yang sekolah? Aku atau Mamaku? Kamu bertanya hal yang sama, right? Aku juga ingin meneriakkan hal yang sama, tapi tak pernah kulakukan. Aku tidak menyahut teriakan Mama. Setelah tidak terdengar lagi suara dari balik pintu, aku tahu bahwa Mama sudah pergi.

Ternyata terror itu belum usai. Beberapa saat kemudian, Mama kembali ke depan pintu kamarku. Aku sudah tahu, kalau hanya butuh hitungan detik untuk Mama tahu tentang fakta yang kusimpan hari ini. "Fayo? Apakah benar kamu nggak lolos AFS? Kenapa? Siapa yang lolos, kalau kamu saja nggak lolos? Fayo, buka pintunya Fayo. Mama mau bicara!"

Aku tetap diam, membiarkan Mama berteriak kesetanan di balik pintu. Seperti yang sudah beberapa minggu ini terjadi padaku setiap kali Mama berteriak, aku gemetaran, dan menderita sesak napas temporer. Aku sudah menyiapkan satu tabung kecil oksigen di tasku kalau-kalau aku tidak kuat menahannya.

Bahwa aku punya kakak yang sangat sempurna, itu benar. Dan aku akan selalu hidup dalam bayang-bayangnya seumur hidupku. Fano, sang juara sekolah yang sekarang berkuliah di Yale University, Amerika Serikat. Yeah, siapa yang tidak tahu Yale masuk ke dalam jajaran fuckin Ivy League university. Jajaran universitas paling prestisius di Amerika Serikat.

Dia lolos ke Yale dengan nilai SAT hampir sempurna, SAT-Verbal: 790, SAT-Math: 800, SAT-Writing: 790. Percaya atau tidak, dia sudah lulus dari undergraduate degree, jurusan Neuroscience. Dan sekarang sedang memulai pre-medical di Yale School of Medicine. Yang lebih menyebalkan lagi, dia mendapatkan financial aid, yang berarti kuliahnya gratis.

Kakakku yang super sempurna itu, entah kenapa memang hidupnya sangat sempurna. Dia suka belajar dengan tekun, selalu patuh kepada kedua orang tuaku, aktif di berbagai kegiatan sekolah, aktif juga di forum-forum internasional, pernah juara olimpiade internasional, suka terlibat dalam kegiatan volunteer, lolos program AFS setahun student exchange di Amerika, tidak pernah membolos sekolah, tidak pernah juga membolos les, tidak pernah pacaran, apalagi coba-coba merokok.

Bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang saudara satu-satunya yang super sempurna seperti itu?

Kurasa aku hampir gila.

Yang lebih gila lagi adalah fakta bahwa aku harus mengikuti setiap langkah yang ditempuh kakakku agar aku bisa masuk Yale, seperti yang sudah dia dapatkan. Kenapa aku tidak menolak saja? Karena aku, bahkan sampai umur 15 tahun ini, tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kulakukan dalam hidupku.

.       .       .

TopengWhere stories live. Discover now