Tawa Dalam Keheningan

410 6 4
                                    

Malam ini terasa lebih hening dari malam-malam biasanya. Semua suara terdengar lebih nyaring. Suara motor, suara langkah kaki, bahkan suara jangkrik sangat jelas terdengar di telinga. Dari ruang tamu terdengar detakkan detik jarum jam yang ikut terdengar nyaring menambah keheningan malam ini.

Tentang hening, sebenarnya ada hal yang begitu aku ingat. Sekitar satu tahun yang lalu, ketika istriku meminta martabak ada hening yang tak bisa aku memilihnya untuk lupa.

Saat itu, aku tengah berada pada puncak kebahagiaanku. Karena Tuhan memberiku kepercayaan untuk menjadi seorang ayah. Ya, istriku positip hamil ketika itu. Seperti kebanyak ibu hamil pada umumnya, istriku pun sama. Dia merasakan hal yang orang sebut ngidam.

"Mas, aku kok pingin martabak bangka Fajar ya.. "

Aku tersenyum lebar ketika itu. Hal yang mungkin dirasakan oleh semua suami itu aku rasakan kala itu. Aku pun bergegas untuk memberikan apa yang istriku inginkan.

Martabak Fajar adalah martabak yang menurut sebagian besar masyarakat kotaku sangat enak. Aku sepakat dengan itu. Martabak ini terletak di kelurahan seberang. Untuk menuju kelurahan tersebut membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Namun ada jalan pintas yang bisa dilalui agar bisa lebih cepat sampai kesana. Memang tak seterang jalan utama. Pun tidak seramai jalan utama. Malah cenderung sepi tidak ada yang mau lewat sana. Selain rawan, namun ada kabar burung kalau dulu pernah ada begal motor yang di bunuh di jalan tersebut. Jadi banyak orang yang tidak berani untuk melintasi jalan tersebut. Terlebih ketika malam hari.

Pukul 18.01, angka yang diteriakan arloji yang aku kenakan. Ketika itu belum azan, dan juga belum begitu gelap. Karena 10 menit lagi adzan magrib baru berkumandang. Aku pun berfikir untuk solat di kelurahan seberang saja.

"Mas mau berangkat sekarang? Apa enggak abis magrip sekalian?"

"Mas solat di kelurahan seberang saja. Toh depan martabak fajar kan masjid."

"Tapi kan adzan tinggal 10 menit lagi. Apa enggak telat nanti? "

" Mas mau lewat jalan sawah aja. Kan lebih cepet"

"Yakin mau lewat sana? Jam segini udah sepi lo mas. "

"Kalo kata si Arifin sih kalo jam segini masih rame. Masih banyak orang baru balik dari sawah."

Istriku hanya mengangguk mengiyakan maksudku. Tak lama dari itu, akupun langsung bergegas untuk membelikan keinginan istriku dan juga jabang bayi dalam perutnya.

"Mau kemana le?"

"Mau ke kelurahan seberang mak. Asih ngidam martabak"

"Owalah. Yaudah hati-hati. Mending lewat kota aja biar aman. Jangan lewat sawah. Udah magrip juga."

Akupun mengiyakan perkataan ibu mertuaku sembari bergegas dengan motor metik tuaku. Tapi biar tua, mesin nya sangat bandel. Motor ini pemberian ayah sebelum dia pergi dari hidupku. Tapi sudahlah, aku tidak akan lama menceritakan itu.

Sore itu langit cukup gelap. Sebagian langit sudah pekat dengan mendung. Namun sebagian lagi mulai memerah pertanda waktu magrip segera menjelang. Jalanan ketika itu tidak seramai biasanya. Aku perhatikan tidak ada pintu rumah sebelum sawah yang masih terbuka. Hanya ada satu dua orang yang tengah berjalan menuju masjid.

Hening. Saat itulah aku mulai merasakan keheningan yang begitu hening. Aku sempat ragu untuk melalu jalan sawah tersebut. Aku hentikan sejenak motorku tepat sebelum jembatan yang menghubungkan kelurahanku dengan jalan sawah tersebut. Sesekali terlihat burung yang tengah hinggap di semak pinggir sungai. Tapi, kebahagiaanku mengalahkan raguku. Terlebih ada satu motor yang melaju dari belakangku. Lelaki dengan jaket kulit hitam dan celana jeans ketat berwarna hitam dengan robekan pada bagian lututnya. Di menggunakan helm tanpa kaca. Dia menatapku yang tengah terdiam. Wajahnya datar, dia tersenyum namun tanpa ekspresi--Lempeng.

Aku sedikit melebarkan senyum karena itu artinya aku tidak perlu takut untuk melewati jalan sawah ini. Ada pengendara motor lain yang melintas.

Aku langsung tancap gas melajukan motorku. Aku tidak begitu jauh dari motor itu. Motor bebek yang sepertinya lebih tua dari motorku. Ban bagian belakangnya sudah goyang. Tepat di tengah jalan sawah, motor tersebut tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Spontan aku menstandarkan motorku dan bergegas membantunya. Motor tersebut masih menyala namun laki-laki yang mengandarai tadi tergeletak tak berdaya. Sesekali aku mencoba membangunkannya. Namun tidak ada respon darinya. Hingga akupun berniat mengangkatnya saja ke kelurahan seberang yang mungkin tinggal sekilo lagi. Terlebih aku melihat ada orang di seberang sana.

Aku angkat lelaki itu.  Namun, hening mengambil perannya. Tanpa aku sadari lelaki yang aku gendong hanya badan saja. Tanpa kepala. Ya, kepalanya tertinggal.

Aku begitu bingung apa yang akan aku lakukan. Ketika itu aku mengangkat badan seseorang tanpa kepalanya. Sementara kepalanya tiba-tiba menggelinding sembari tertawa. Kemudian menghilang.

Aku sangat yakin, yang aku alami begitu nyata. Bahkan tawa yang terdengar begitu lekat dalam ingatanku. Namun aku sadar, hanya aku seorang disana ketika itu. Juga hanya ada motorku. Tidak ada motor lain. Akhirnya tanpa berfikir lama aku langsung menyalakan motorku dan bergegas.

Begitulah hening mengambil perannya. Menjadikan semua terdengar lebih jelas dan lebih nyaring. Bahkan sampai saat ini tawa itu masih begitu jelas terdengar. Dan manakala hening menerpa diriku, ingatanku seakan kembali pada masa itu.

Seperti saat ini. Namun paling tidak kejadian saat itu menyadarkanku bahwa setiap tempat ada selain kita.

Metro, 16 Februari 2020 ; 21.32

DISINI ADA SELAIN KITAWhere stories live. Discover now