Satu

13 2 0
                                    

Pukulan-pukulan itu bertemu dengan kulit seorang gadis kecil yang terus merasakan nyeri menjalar ditangannya. Air mata yang dikeluarkan olehnya bahkan tak mampu menghentikan siksaan tangan putih berhias garis-garis merah. Hukuman yang saat ini dijalaninya berawal pelanggaran yang dia lakukan kembali.

Semua orang biasa memanggil gadis kecil itu Maha. Dia dibesarkan di sebuah keluarga yang tak lagi utuh. Penghianatan yang dilakukan ibunya berhasil membuat gadis kecil itu berada dalam didikan yang sangat keras dan kejam. Terlebih dengan kemampuan istimewanya itu, sudah dipastikan setiap kali dia hanya mengikuti kesenangannya maka imbas yang sama akan ia dapatkan.

“Sudah berapa kali Papa katakan untuk tidak menyentuh benda itu?!” suara keras dibumbui nada marah itu itu keluar dari mulut laki-laki yang menyebut dirinya Papa kepada Maha.

Ya, dialah pelaku semua bekas luka dari tangan anaknya sendiri.

“M-maaf, Pa. Hiks... hiks... hiks...,” sesal Maha masih terisak.

Tubuh bergetar itu jelas sekali memperlihatkan rasa takut yang tidak bisa ditangani oleh gadis berusia 8 tahun. Namun sayang seberapapun ketakutan yang dia tunjukkan, dia tak akan pernah lepas dari keadaan ini dengan mudah.

“Sekali lagi Papa dengar kamu menyentuh benda itu, jangan harap benda itu akan tetap utuh”. Ancaman final itu terus menggema dalam telinga Maha. Kemarahan Papanya itu akan membekas menciptakan trauma tersendiri bagi gadis polos itu.

***

“Hiks... hiks... hiks...,” suara tangis itu terdengar dari balik semak-semak. Anak laki-laki yang tak sengaja mendengar tangisan itu segera mencari sumber suara itu.

Umurnya baru lima tahun, jadi wajarkan jika dia agak takut saat mendekati semak-semak itu? Lagi pula melihat tempatnya berada saat ini adalah hutan, bukan hal aneh jika anak laki-laki itu sedikit gemetar tatkala membuka semak-semak itu.

Kedua pasang mata hitam itu saling mentap. Satu pasang diantaranya sedang menatap dengan penuh ketelitian sepasang mata lain yang dihiasi air mata.

“Kamu siapa?” tanya anak laki-laki itu.

“Aku Maha. Kamu sendiri siapa?” jawab gadis kecil itu sambil menghapus air matanya.

“Aku Fatih. Kenapa kamu menangis?” alis mata bocah laki-laki itu terangkat tanda dia sedang penasaran.

Setelah menunggu cukup lama, Fatih tak kunjung mendapat jawaban dari lawan bicaranya. Mata Fatih melihat secara teliti tangan yang disembunyikan anak perempuan di depannya itu.

“Astaga, tanganmu terluka!” teriaknya saat melihat banyak sekali bekas luka yang hinggap di kedua tangan putih itu.

“Ayo aku obati." Fatih mendekati gadis kecil yang menurut perkiraannya sebaya dengan dirinya itu. Tapi, diluar dugaan gadis itu nampak ketakutan.

“Berikan tanganmu,” perintahnya dengan nada lembut.

Maha yang tak merespon ucapannya membuat Fatih cemberut tak suka.

Tanpa basa-basi lagi, ditariknya lengan Maha yang sekiranya minim dari luka.

“Aku akan membawamu ke Ibu.”

“Lepaskan aku. Aku tidak mengenalmu,” teriak Maha sedikit memberontak.

“Sudah aku bilang, aku Fatih. Sekarang aku temanmu, jadi jangan takut.”

“Teman?”

Fatih mengangguk pasti. “Ayo kita ke Ibuku. Dia akan mengobati luka ditanganmu ini.” Fatih menuntun Maha menuju rumahnya dengan lembut.

Bahkan selama perjalanan berlangsung, tak henti-hentinya anak laki-laki itu mengoceh. Sedang di sisi lainnya, Maha hanya mendengarkan dan tersenyum.

“Nah, ini rumahku!” seru Fatih. Maha masih tak membuka mulut. Yah, setidaknya sampai kedua mata bulatnya menangkap bayangan seseorang.

“Papa?” Gadis kecil itu kembali bergetar. Rasa takut menjalari tubuh mungilnya. Terlebih saat sosok pria yang dia sebut ‘papa’ tadi menoleh.

“Maha?” tanya orang itu tak kalah heran dengan kehadiran anak perempuannya saat ini.

“Tuan muda,” sapanya dilanjutkan membungkuk hormat tatkala melihat bocah laki-laki disebelah putrinya.
Maha hanya menatap Fatih heran dan tak berkutik. “Maha! Mana sopan santunmu?! Beri salam pada Tuan Fatih!” bentakan itu sukses menyadarkan Maha. Dia langsung merespon. Dibungkukkannya tubuh gadis cilik itu penuh hormat.

“Hei! Siapa kau yang berani membentak temanku?!” omel Fatih yang ia tujukan kepada laki-laki itu.

“Sayang, ini Tuan Indra. Dia yang menangani salah satu cabang perusahaan kita,” jelas pria lain yang berdiri disamping Papa Maha.

Fatih memasang wajah tak suka. Dengan ceplas-ceplos khas anak kecil dia berkata, “Aku tidak suka dengannya.”

Mendengar ungkapan Fatih, wajah Tuan Indra berhasil pucat pasi.
“Maafkan saya, Tuan Muda. Saya tidak bermaksud ....”

“Tidak aku maafkan,” putus Fatih.

“Ayah, apa aku boleh memecatnya?”

“Sayang, kamu tidak boleh bersikap seperti itu,” kali ini Tuan Saka, Ayah Fatih, yang menegur.

“Saya mohon maaf, Tuan Muda” permohonan maaf itu kembali diucapkan.

“Apa kamu Papa dari Maha?” selidik Fatih.

“Iya, Tuan.”

“Aku akan memaafkan dirimu kalau Maha mau menemani aku bermain setiap hari.” Fatih menatap dengan serius laki-laki yang berbadan dua kali lebih besar dari badannya.

Tatapan itu seolah mengisyaratkan kemenangan yang sebentar lagi dia raih.

“Bagaimana, Maha?” tanya Fatih pada teman barunya itu.

“Dia pasti mau Tuan Muda,” jawab Tuan Indra.

“Tidak sopan sekali kau menyela percakapan antara Aku dan Maha!” bentak Fatih geram dengan salah satu pegawai Ayahnya itu. “Aku sedang bertanya pada Maha,” tegasnya lagi.

Delikan mata yang ditangkap Maha dari Si Papa menandakan bahwa dia harus menjawab setuju. Dengan takut-takut dia menjawab, “A-aku m-mau.”

“Benarkah?” tanya Fatih mengkonfirmasi. Saat Maha menganggukkan kepala pelan, dia melompat kegirangan.

“Baiklah, aku tidak jadi memecatmu. Tapi kau harus menandatangani perjanjian tentang masalah ini,” ucap Fatih pada laki-laki yang sejak tadi mengharapkan kata maaf darinya.

“Ayah, boleh aku pinjam sekretaris Ayah sebentar?" tanyanya meminta persetujuan pada Tuan Saka.

“Fatih, bukannya ini keterlaluan?” tegur Sang Ayah.

“Tidak juga. Kata kakak, setiap perjanjian lebih baik disertai dokumen tertulis. Jaga-jaga kalau ada masalah kedepannya. Kakak juga mengatakan kalau hal ini Ayah yang mengajarkan.”

Ayah dari Fatih itu hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia memang harus hati-hati kalau berhadapan dengan putranya yang satu ini. “Baiklah, kamu boleh meminjam sekretaris Ayah sebentar.”

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 01, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Shymphony Of HopeWhere stories live. Discover now